Jakarta (ANTARA) - Peran penting statistik dalam kebijakan publik adalah menyediakan basis data yang memberi informasi kepada pemangku kepentingan terkait serta memantau pengembangan dan pelaksanaan beragam program dan kebijakan.
Di bidang susut dan sisa pangan (SSP) atau food loss and waste data menunjukkan sepertiga dari pangan di seluruh dunia terbuang sia-sia.
Di Indonesia, jika SSP – makanan yang terbuang ini dapat diselamatkan, jumlahnya diperkirakan dapat memberi makan hampir sepertiga penduduk.
Perkiraan kerugian ekonomi akibat SSP mencapai Rp213 triliun - Rp551 triliun per tahun, atau 4-5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sayangnya, untuk mengukur persentase susut dan sisa pangan secara fisik, kita masih memerlukan data yang lebih akurat.
Susut pangan terbesar diperkirakan ada pada subsektor tanaman pangan dan hortikultura, khususnya beras, makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia.
Sementara itu, SSP di sektor unggas juga meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir. Ini perlu menjadi perhatian.
Penanggulangan SSP menjadi penting sebab peningkatan produksi pangan saja tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan jika sebagian dari pangan tersebut justru terbuang.
Saat ini, 44 persen dari sampah di tempat pembuangan akhir di seluruh dunia merupakan sampah makanan.
Kerugian ongkos produksinya pun tidak sebanding – baik itu kerja keras petani, penggunaan air, tanah, dan emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan.
Secara global, sistem pangan dan pertanian menyumbang sekitar 30 persen dari GRK. SSP menghasilkan sekitar 8-10 persen dari emisi tersebut.
Untuk mengurangi SSP, para pemangku kepentingan memerlukan data di mana, kapan dan mengapa SSP bisa terjadi.
Secara teknis, susut pangan didefinisikan sebagai pangan yang terbuang pada sisi produksi rantai pasokan dari lahan pertanian hingga pra-ritel; sementara sisa pangan terjadi dari tahap ritel ke konsumen, termasuk di tingkat rumah tangga.
Sederhananya, makanan yang terbuang bahkan sebelum mencapai piring kita disebut sebagai susut pangan.
Sementara setiap makanan dari piring yang tidak dihabiskan menjadi penyumbang sisa pangan.
Hampir sepuluh tahun sejak dunia mengadopsi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), tantangan global terus berlanjut dalam mengurangi SSP dan mencapai Tujuan 12: produksi dan konsumsi yang bertanggung jawab.
Salah satu targetnya adalah mengurangi sisa pangan hingga setengahnya dan mengurangi susut pangan pada 2030.
Selaras dengan tujuan global, Indonesia menargetkan pengurangan tiga perempat SSP-nya pada tahun 2045.
FAO memimpin penyusunan metodologi global dalam mengukur susut pangan serta penyusunan Indeks Susut Pangan nasional bagi negara-negara anggotanya, termasuk Indonesia.
Sementara Program Lingkungan PBB (UNEP) memimpin penyusunan metodologi global untuk mengukur sisa pangan dan penyusunan Indeks Sisa Pangan. Kedua Lembaga ini bekerja sama dengan negara-negara anggota dalam mengurangi SSP.
Indonesia memerlukan data yang berkualitas untuk mendukung kebijakan yang efektif dalam menanggulangi masalah ini.
Inilah yang mendorong FAO dan Pemerintah melalui BPS untuk bekerja sama dalam menyelaraskan data yang telah dimiliki Indonesia agar memenuhi standar metodologi statistik global yang dikembangkan oleh FAO.
Standar ini telah disetujui oleh Komisi Statistik PBB, yang mewakili lebih dari 180 negara.
Hasilnya adalah Indeks Susut Pangan Indonesia dan persentase susut pangan pada tingkat komoditas.
Dengan data ini, BPS dapat memperkirakan besaran susut pangan dengan lebih akurat pada sepuluh komoditas pangan bernilai tinggi di Indonesia, yakni beras, jagung, pisang, cabai, kelapa sawit, singkong, daging sapi, ayam pedaging, telur, ikan makarel/sarden, dan rumput laut.
Upaya ini akan diawali dengan meninjau data yang saat ini telah tersedia, antara lain Survei Pola Distribusi Nasional, Survei Penyempurnaan Diagram Timbang Nilai Tukar Petani 2017, dan Survei Konversi dan Kehilangan Gabah dari BPS; Survei Neraca Bahan Makanan dari Badan Pangan Nasional; serta berbagai data dari Kementerian Pertanian, Lembaga dan kementerian lainnya.
Dengan memaksimalkan penggunaan data yang sudah tersedia, kami dapat mengurangi biaya dan kompleksitas pengumpulan data baru dalam skala besar. Hanya jika terjadi kesenjangan datalah survei baru seperti survei pertanian nasional mungkin dibutuhkan.
Dengan berpedoman pada metodologi internasional, Indonesia akan memiliki statistik yang akurat untuk penyusunan kebijakan.
Kemudian, kondisi susut pangan akan dapat dibandingkan dengan negara-negara lain dan antarperiode waktu. Jika berhasil, Indonesia akan menyusul India sebagai salah satu negara di dunia yang memimpin dalam kemampuan penghitungan susut pangan.
BPS dan FAO optimis akan kolaborasi SSP ini, sebab sebelumnya kami juga telah bekerja sama di bidang statistik pertanian, seperti sensus pertanian dan Survei Pertanian Terintegrasi (SITASI).
Sinergi data dari berbagai sumber akan menghasilkan statistik yang lebih komprehensif dalam mengukur di mana, kapan dan mengapa susut pangan dapat terjadi.
Kami berharap data yang komprehensif akan dapat menghasilkan kebijakan yang sama komprehensifnya.
Di sisi lain, sinergi data antarlembaga juga dapat mendorong kolaborasi antarlembaga dalam merumuskan kebijakan dan praktik untuk mengurangi SSP bersama-sama.
Beberapa langkah penanggulangan SSP seperti memperkuat sistem logistik pangan nasional, pengelolaan sistem pangan dan pertanian yang berkelanjutan, serta membangun kesadaran masyarakat untuk mengurangi SSP memerlukan kerja sama seluruh lembaga terkait.
Sementara berbagai upaya statistik di atas akan membutuhkan waktu, kita semua tidak perlu menunggu untuk memulai langkah sederhana dalam mengurangi SSP, yakni dengan menghabiskan setiap porsi makanan yang dapat kita nikmati.
Pada saat 1 dari 11 orang di dunia tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pangannya, rasanya menghabiskan makanan juga dapat menjadi ungkapan rasa syukur yang paling sederhana.
Secara luas, berbagai upaya edukasi dan komunikasi untuk mengubah perilaku konsumen dan produsen agar tidak membuang-buang makanan tentunya diperlukan.
Program makan bergizi gratis (MBG) yang tengah mengedukasi masyarakat akan pentingnya pola makan bergizi dapat sekaligus mendorong kebiasaan-kebiasaan yang dapat mengurangi SSP di seluruh rantai pangan.
Terlebih lagi, program MBG ini dapat meningkatkan produksi pangan yang sebaiknya disertai dengan upaya mengurangi susut pangan serta kebiasaan menghabiskan makanan. Sayang sekali bukan jika makanan bergizi yang sudah diproduksi dan disiapkan malah harus terbuang ?
Akhirnya, Indeks Susut Pangan dan Indeks Pemborosan Pangan merupakan statistik yang dapat berkontribusi untuk meningkatkan efisiensi ekonomi dan mendukung pembangunan berkelanjutan.
*) Pandangan dan pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi atau posisi Kantor Berita ANTARA
*) Amalia Adininggar Widyasanti adalah Kepala Badan Pusat Statistik (BPS)
*) Rajendra Aryal adalah Kepala Perwakilan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) di Indonesia