Jakarta (ANTARA) - Cita Tenun Indonesia (CTI) meminta seluruh desainer Indonesia untuk lebih menghargai kain tenun yang digunakan dalam setiap produk fesyen mengingat proses pembuatannya yang sulit dan kerja keras para pengrajin.
"Saya selalu tekankan pada desainer itu, tenunnya jangan dianggap sebagai perca, karena kita harus menghargai juga yang membuat, sudah waktunya lama, dan juga dengan passion-nya. Jadi harus sama-sama respect," kata Pengurus CTI Bidang Pengendali Mutu Sjamsidar Isa kepada ANTARA usai mengikuti konferensi pers di Jakarta, Senin.
Wanita yang akrab disapa Tjammy itu mengatakan kebanyakan desainer menggunakan kain tenun hanya pada sedikit bagian yang ada pada produk yang dibuat. Contohnya, kain tenun hanya dijadikan pemanis pada kantung baju ataupun pinggir tepi pakaian.
Menurutnya, minimnya penggunaan kain tenun tersebut disebabkan oleh keinginan desainer untuk menjual produk dengan harga yang lebih murah kepada target pasarnya.
Baca juga: Permintaan tenun ikat Parengan naik 60 persen jelang Ramadhan
"Tapi ya memang enggak bisa, tenun itu enggak bisa disuruh murah karena ini bukan pabrik yang sekali pencet jadi 30 ribu meter kan. Dia (tenun) itu memang punya kedudukan sendiri lah," ujar dia.
Padahal sebaliknya, Tjammy menilai seharusnya para desainer sudah bisa membaca tren bahwa masyarakat mulai gemar mengenakan kain tradisional sebagai salah satu cara berbusana sehari-hari.
Berbeda dengan sebelumnya yang hanya dipakai oleh orang-orang tua dan dipakai hanya untuk keperluan adat atau upacara adat.
Di sisi lain, adanya penggunaan kain tenun dalam jumlah yang banyak pada suatu produk dapat memberikan pengaruh positif di sektor ekonomi kreatif. Salah satunya adalah meningkatkan pendapatan suatu daerah terutama taraf hidup para pengrajin.
Baca juga: Tim Pengmas FIB UI dan IKBS Jabodetabek kolaborasi katalog tenun Sumba
"Makanya, kita ingin membuat bahwa tenun ini bisa dipergunakan lebih luas, jadi (target) pasarnya dapat lebih luas," ucap Tjammy.
Tjammy mengaku dirinya bahkan selalu meminta kepada para desainer yang dijumpai untuk menggunakan kain tenun setidaknya sebesar 60 persen dari bahan produk secara keseluruhan. Selain dijadikan upaya untuk menghargai dan melestarikan tenun, hal itu juga dijadikan cara untuk mengapresiasi pengrajin kain tenun.
CTI pun sejak tahun 2009 telah memberikan pembinaan pada pengrajin tenun yang berasal dari sekitar 18 provinsi di 28 kabupaten seluruh Indonesia. Pembinaan biasa dilakukan selama satu tahun dengan tim yang diturunkan mencakup fesyen desainer atau desainer produk hingga desainer teksil.
"Jadi yang kita perbaiki itu semua adalah mutunya, kemudian bahan bakunya. Kemudian juga dari desain peletakan motifnya supaya bisa warna juga, membuat warnanya, mencelupnya," kata dia.
Baca juga: Penenun terakhir suku Osing jaga budaya lewat wastra
Menurut Tjammy, pembinaan diberikan agar pengrajin kain tenun di daerah dapat mengikuti perkembangan tren dan selera masyarakat saat ini serta produk yang jadi kebutuhan pasar.
Dalam kesempatan itu ia turut menyatakan siap untuk berkolaborasi dengan desainer untuk mengembangkan produk fesyen lebih jauh, tentunya dengan mengangkat nilai dan memperkenalkan tenun kepada khalayak dunia yang lebih luas.
"Kami dari CTI berharap kita bisa lebih sering berkolaborasi (dengan para desainer) dan kami cukup terbuka kalau ada masukan-masukan yang bisa mendukung produk kalian," kata Tjammy.
Baca juga: Penenun Badui itu wariskan budaya pada generasi penerus
Baca juga: Pemkab Badung majukan tenun lokal melalui Badung Fashion Trend 2024
Baca juga: AMMAN meraih penghargaan Subroto 2024 melalui tenun Desa Mantar
Baca juga: Penenun terakhir suku Osing jaga budaya lewat wastra
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Mahmudah
Copyright © ANTARA 2025