Jakarta (ANTARA) - Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta menyebutkan perlu adanya pembaruan dalam penanganan perubahan iklim, sehingga tak bisa menerapkan konsep atau pedoman yang sama secara berulang.
"Karena perubahan iklim ini adalah sesuatu yang sangat dinamis, bisa jadi apa yang kita rasakan, penyebabnya, dampaknya bisa jadi dari tahun ke tahun selalu berbeda, sehingga seringkali treatment-nya pun harus ada sesuatu yang bersifat dinamis," kata Kepala Bidang Pembangunan dan Lingkungan Hidup Bappeda DKI Jakarta Deftrianov dalam acara daring di Jakarta, Rabu.
Bappeda yang saat ini bertugas sebagai Ketua Tim Mitigasi dan Adaptasi Bencana Iklim (MABI), lanjut dia, merancang sebuah pendekatan yang nantinya akan disosialisasikan pada masyarakat, termasuk aparatur sipil negara (ASN).
Baca juga: 373 RW ikut Proklim sebagai upaya mitigasi perubahan iklim
Kendati tak menyebutkan rinci, namun Deftrianov mengatakan, pendekatan yang dirancang memasukkan prinsip inklusivitas dalam penanganan perubahan iklim.
Adapun urgensi perlunya menangani perubahan iklim secara inklusif karena mengingat dampak perubahan iklim yang semakin parah intensitasnya dari waktu ke waktu.
"Ada satu pendekatan baru, Bappeda DKI telah merancangnya. Nanti akan disosialisasikan untuk bagaimana prinsip inklusif itu bisa masuk. Siapa yang harus dilibatkan, aspek-aspek yang harus dituangkan, dan seterusnya," ujar dia.
Baca juga: Bappeda DKI dan Think Policy kolaborasi wujudkan Jakarta kota global
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, kata dia, sebenarnya telah mendorong dan mengakselarasi berbagai aksi terkait iklim, salah satunya dari sisi kebijakan, yakni melalui Peraturan Gubernur Nomor 90 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah yang Berketahanan Iklim.
Melalui Pergub tersebut, Jakarta menargetkan bisa mengurangi 30 persen emisi gas rumah kaca (GRK) pada tahun 2030 dan emisi nol /karbon netral (net zero emission) pada 2050.
Setidaknya ada lima aksi yang dilakukan guna mewujudkan target tersebut yakni efisiensi energi, perluasan penggunaan energi terbarukan (EBT), penggantian bahan bakar ramah lingkungan, peralihan menuju dominasi transportasi publik, serta mengutamakan pejalan kaki dan pesepeda.
Baca juga: Peneliti: Masyarakat rentan perlu lebih dilibatkan di kebijakan iklim
Dia menambahkan, untuk menuntaskan aksi tersebut, maka partisipasi publik dibutuhkan.
"Jadi, rasanya kalau hanya mengandalkan pemerintah, rasa-rasanya kita enggak akan bisa mencapai apa yang telah ditargetkan pada 2030 dan juga khususnya net zero emissions pada 2050," kata Deftrianov.
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Syaiful Hakim
Copyright © ANTARA 2025