Beijing (ANTARA) - Saat berusia tiga tahun, dia melihat bekas luka tembak di dada kakeknya, seorang mantan prajurit Tentara Rute Kedelapan yang dipimpin oleh Partai Komunis China (Communist Party of China/CPC). "Kakek membentuk kesan pertama saya tentang Perang Perlawanan melalui pelajaran sederhana bahwa keterbelakangan membuat seseorang rentan terhadap serangan," kenang penulis berusia 47 tahun itu.
Kakek Jing bergabung dalam parade pada 3 September 2015, menandai peringatan 70 tahun kemenangan tersebut, parade non-Hari Nasional pertama yang digelar di Lapangan Tian'anmen Beijing, dan dia meninggal dunia beberapa tahun setelahnya.
Dalam novelnya yang berjudul "Our Grandparents" (Kakek-Nenek Kita), Jing membandingkan kesulitan yang dihadapi generasi masa perang dengan kenyamanan yang dirasakan generasi saat ini, mulai dari makanan berlimpah dan lemari yang penuh dengan pakaian hingga anak-anak yang belajar di tempat yang hangat selama musim dingin dan sejuk pada musim panas.
"Kebahagiaan sederhana seperti itu hanya mungkin terjadi ketika sebuah negara dalam kondisi kuat dan masyarakatnya stabil," ujarnya.
"Memperingati kemenangan tetaplah bermakna saat kita menghadapi berbagai tantangan baru dalam perjalanan mewujudkan modernisasi negara ini," kata Jing. "Bagi orang biasa seperti saya, itu berarti tetap fokus menjalankan pekerjaan kita dengan baik."
BERGABUNG DALAM PERJUANGAN UMAT MANUSIA DEMI KEADILAN
Dalam perang tersebut, rakyat China bertempur bersama kekuatan antifasis lain di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat (AS), Uni Soviet, dan banyak negara lainnya.
Di sebuah bukit di Yan'an, instrumen dan catatan meteorologi dari delapan dekade lalu masih tersimpan, menjadi bukti kerja sama China-AS selama Perang Dunia II.
Pada tahun-tahun berikutnya dalam perang, AS mengerahkan pesawat pengebom B-29 di China untuk menyerang target-target Jepang. Demi memastikan keselamatan penerbangan, AS berupaya membangun stasiun cuaca di area-area pangkalan yang dipimpin oleh CPC. Pada 1944, sebuah Kelompok Observasi Angkatan Darat AS, yang dijuluki Misi Dixie, tiba di Yan'an dan mendirikan sebuah stasiun meteorologi.
"Militer AS membawa instrumen dan instruktur," kata Yang Fan, seorang staf di observatorium meteorologi Yan'an. Siswa-siswa Tentara Rute Kedelapan yang terlatih membangun stasiun cuaca di pangkalan-pangkalan revolusioner, yang memberikan dukungan penting bagi operasi AS.
Di Chongqing, untuk menghormati Joseph Stilwell, mantan jenderal AS yang membantu China melawan agresi Jepang, pemerintah kota merenovasi bekas kediamannya dan mengubahnya menjadi sebuah museum.
"Ada kesamaan antara rakyat AS dan China, terutama soal keinginan untuk hidup dalam damai," kata John Easterbrook, cucu Stilwell. "Persahabatan antara kedua bangsa selama Perang Dunia II harus diingat dan dijadikan fondasi untuk membangun pemahaman saat ini."
Jepang menyerah pada 2 September 1945, menandatangani Instrumen Penyerahan Diri kepada China dan kekuatan Sekutu lainnya. China merayakan kemenangan tersebut keesokan harinya. Pada 2014, negara itu menetapkan 3 September sebagai Hari Kemenangan Perang Perlawanan China.
Selama bertahun-tahun, Yokichi Kobayashi yang berusia 74 tahun mendokumentasikan kisah unik ayahnya, yang dahulu merupakan seorang tentara Jepang yang ditangkap oleh Tentara Rute Kedelapan. Setelah dikirim ke Yan'an untuk belajar, sang ayah akhirnya memutuskan untuk bertempur bersama tentara China.
"Sebagai warga Jepang, saya akhirnya memilih untuk bertempur bersama China selama Perang Perlawanan karena CPC membantu saya menyadari ketidakadilan dari perang invasi Jepang," kata ayahnya.
"Delapan puluh tahun telah berlalu sejak perang itu berkecamuk, tetapi kini Jepang perlu mengambil pelajaran dari masa lalunya lebih dari sebelumnya," ujar Yokichi. "Refleksi diri suatu bangsa lebih penting daripada toleransi bangsa lain."
Kemenangan dalam perang tersebut tidak hanya mengubah nasib China, tetapi juga membentuk kembali tatanan dunia.
"Umat manusia sekali lagi berada di persimpangan sejarah, dan memperingati kemenangan ini berarti memperjelas sikap kita terhadap perang," kata Zhong Feiteng, seorang pakar hubungan internasional di CASS.
"Perang membawa kehancuran besar bagi umat manusia. Hanya dengan menyelesaikan perbedaan melalui konsultasi dan kerja sama, serta mengganti konflik dengan koeksistensi damai, kita dapat mendorong pembangunan bersama bagi seluruh umat manusia," ungkapnya.
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.