Ahli: Prosedur pembentukan undang-undang intisari legitimasi hukum

2 months ago 17

Jakarta (ANTARA) - Guru besar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof Susi Dwi Harijanti mengatakan bahwa prosedur pembentukan undang-undang merupakan intisari dari legitimasi hukum sehingga harus ditaati.

Susi menyampaikan pernyataan itu dalam sidang lanjutan pengujian formal (formil) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin.

Pada mulanya, Susi mengutip pemikiran cendekiawan hukum Charles G Howard dan Robert Summers bahwa "procedure is the heart of the law" atau 'prosedur merupakan jantung hukum' yang meliputi prosedur legislatif, administratif, dan yudisial.

“Dalam konteks pembentukan undang-undang, hal ini menegaskan bahwa prosedur bukan sekadar langkah teknis administratif, melainkan intisari dari legitimasi hukum itu sendiri,” ucap Susi.

Menurut dia, ketaatan terhadap prosedur merupakan representasi dari penghormatan terhadap nilai-nilai dasar konstitusional seperti demokrasi, keterbukaan, dan negara hukum. Pelanggaran terhadap prosedur bukan hanya persoalan teknis, melainkan juga pelanggaran terhadap prinsip-prinsip konstitusi.

Lebih lanjut Susi mengutarakan sejumlah prinsip yang harus dipegang dalam proses legislasi menurut Kantor untuk Lembaga Demokratis dan Hak Asasi Manusia (ODIHR), yakni badan HAM dari Organisasi Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE).

Prinsip tersebut meliputi kepatuhan terhadap prinsip negara hukum, penghormatan terhadap HAM, serta prinsip-prinsip lengkap seperti kebutuhan, pembuatan hukum berdasarkan bukti, keterbukaan, partisipasi, dan inklusivitas, serta perencanaan legislasi yang terorganisir dan tepat waktu.

Namun, Susi menilai, sederet prinsip dimaksud tidak terpenuhi dalam pembentukan Undang-Undang TNI. Ia menyebut Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI dipaksakan masuk dalam program legislasi nasional prioritas tanpa proses yang transparan dan terorganisasi.

“Tidak tersedia naskah akademik yang memadai, minim partisipasi publik, serta tidak ada informasi resmi yang dapat diakses secara terbuka sebelum pengesahan. Bahkan, draf resmi RUU tidak tersedia hingga setelah pengesahan dilakukan,” tuturnya.

Apabila merujuk prinsip ODIHR, sambung dia, penggunaan prosedur percepatan dalam pembentukan Undang-Undang TNI sama sekali tidak dapat dibenarkan, mengingat substansi yang diatur dalam undang-undang itu menyangkut hal-hal fundamental, termasuk relasi sipil dan militer, potensi perluasan peran TNI dalam pemerintahan sipil, hingga HAM.

“Dengan demikian, pengujian formil atas undang-undang a quo (tersebut) menjadi penting dan mendesak untuk memastikan bahwa Mahkamah Konstitusi menegakkan kembali fungsi prosedur sebagai jantung hukum dan memulihkan penghormatan terhadap prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis,” Susi menekankan.

Susi dihadirkan sebagai ahli olehr pihak pemohon dalam Perkara Nomor 69/PUU-XXIII/2025. Perkara itu diajukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran: Moch Rasyid Gumilar, Kartika Eka Pertiwi, Akmal Muhammad Abdullah, Fadhil Wirdiyan Ihsan, dan Riyan Fernando.

Selain perkara nomor 69, Mahkamah juga tengah memeriksa empat perkara pengujian formal Undang-Undang TNI lainnya di tahap pembuktian, yakni Perkara Nomor 45/PUU-XXIII/2025, 56/PUU-XXIII/2025, 75/PUU-XXIII/2025, dan 81/PUU-XXIII/2025.

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Azhari
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |