Denpasar, Bali (ANTARA) - Organisasi konservasi lingkungan World Wildlife Fund (WWF) Indonesia mengharapkan RI tidak keluar dari Perjanjian Paris karena menjadi bagian solusi global mengatasi perubahan iklim, setelah Amerika Serikat memutuskan hengkang dari komitmen tersebut.
"Kami berharap langkah itu tidak ikut diambil," kata Direktur Program Iklim dan Transformasi Pasar WWF Indonesia Irfan Bakhtiar di sela Konferensi Internasional Kelapa Sawit dan Lingkungan (ICOPE) 2025 di Sanur, Denpasar, Bali, Kamis.
Menurut dia, posisi kedua negara berbeda dalam perjanjian iklim yang sepakat diadopsi oleh 195 negara pada 2015 itu.
Indonesia, lanjut dia, merupakan negara yang dapat memberikan solusi, sedangkan Amerika Serikat (AS) merupakan salah satu negara yang menghasilkan emisi gas rumah kaca.
Dengan posisi tersebut, ujar Irfan, seharusnya AS membayar kepada Indonesia atas kontribusi dalam penanggulangan emisi karbon.
"Kalau Indonesia keluar, kita kehilangan daya tawar di dalam Paris Agreement," ucapnya.
Selaku pegiat konservasi, ia menyayangkan aksi AS tersebut karena sebagai salah satu negara penghasil gas rumah kaca, negara tersebut memiliki kewajiban membayar kompensasi sekaligus komitmen menurunkan emisi.
Bahkan keluarnya AS itu diperkirakan mempengaruhi program energi ramah lingkungan, salah satunya melalui Kemitraan Transisi Energi Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP).
JETP yang salah satunya dipimpin oleh AS, adalah komitmen pendanaan senilai 20 miliar dolar AS (sekitar Rp301 triliun) untuk program transisi energi di Indonesia yang disepakati saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada November 2022.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan keluarnya Amerika Serikat sebagai salah satu inisiator dari Perjanjian Paris dan surutnya lembaga pembiayaan untuk proyek-proyek energi terbarukan, mendorong ia akan mempertimbangkan ulang nasib pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia.
"Kita jangan sampai terjebak. Makanya, kita harus hitung dengan baik. Ini (pengembangan energi baru dan terbarukan) antara gas dan rem, seperti mengelola COVID-19,” ucap Bahlil.
Meski begitu, ia menyatakan Indonesia masih berkomitmen mengembangkan energi baru dan energi terbarukan sebagai bentuk dari tanggung jawab sosial dalam rangka menjaga kualitas lingkungan.
AS rencananya secara resmi keluar pada Januari 2026 dari perjanjian yang salah satunya bertujuan menekan peningkatan suhu rata-rata global itu.
Baca juga: Pertamina agresif cari migas baru usai AS keluar dari Paris Agreement
Baca juga: Beijing sebut akan tetap berkomitmen terhadap Perjanjian Paris
Baca juga: Menteri ESDM: Keluarnya AS dari Perjanjian Paris buat Indonesia dilema
Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2025