Beirut (ANTARA) - Ketika Jihad al-Abdallah kembali ke kampung halamannya di Khiam, dekat perbatasan Israel di Lebanon selatan, dia merasa seolah-olah memasuki dunia yang berbeda.
Pria berusia 52 tahun itu terpaku tak percaya di hadapan bangunan yang dulu menjadi tempat tinggalnya. Dinding yang porak-poranda, jendela yang terempas, dan jalanan tertimbun oleh puing-puing.
"Saya tidak percaya dengan apa yang saya lihat," ungkapnya lirih.
"Semuanya hancur. Hanya sedikit orang yang kembali untuk mencari apa yang masih tersisa dari rumah mereka. Setiap langkah yang kami ambil di sini terasa seperti berjalan di tepi jurang bahaya," katanya.
Bahaya selalu mengintai. Drone-drone Israel masih terus-menerus beterbangan di atas kota-kota perbatasan di Lebanon, bunyi dengungnya terdengar jelas di atas kepala. Bagi al-Abdallah dan tetangganya, setiap ada drone melintas bisa berarti akan kembali terjadi serangan mendadak.
Di kota itu, anak-anak mencari mainan atau buku sekolah mereka di antara reruntuhan. Para wanita menatap langit dengan mata yang penuh kecemasan. Warga lanjut usia (lansia) berkeliling di antara reruntuhan, terjebak antara kenangan dan kehilangan. "Di sini, perang bukan sekadar ledakan. Perang adalah kehidupan sehari-hari yang terperangkap antara ketakutan dan perjuangan untuk bertahan hidup," papar al-Abdallah.
Sudah setahun berlalu sejak Israel memperluas operasi militernya terhadap Lebanon pada 23 September 2024. Pada hari itu saja, menurut kementerian kesehatan Lebanon, lebih dari 490 orang tewas dan 1.600 lebih lainnya terluka akibat serangkaian serangan. Pasukan Israel kemudian merangsek hingga beberapa kilometer ke dalam wilayah Lebanon, memicu perang terbuka selama lebih dari dua bulan sebelum gencatan senjata yang dimediasi oleh Amerika Serikat (AS) dan Prancis mulai berlaku pada 27 November.
Kendati demikian, gencatan senjata itu terasa rapuh dan hampir tidak berarti bagi warga Lebanon yang tinggal di sepanjang perbatasan. Militer Lebanon telah mencatat lebih dari 4.500 pelanggaran Israel dalam setahun terakhir, mulai dari serangan udara hingga tembakan artileri. Setiap dengungan drone mengingatkan warga bahwa perang ini sesungguhnya masih belum berakhir.
Di Kota Nabatieh, Lebanon selatan, Fatima Nasrallah berdiri di depan reruntuhan rumah tiga lantai miliknya, sebuah rumah yang dia bangun selama bertahun-tahun bersama keluarganya.
"Rumah ini adalah impian saya," ungkapnya dengan suara lemah. "Sekarang semuanya telah musnah. Selama setahun, kami tinggal di sebuah apartemen kecil, mengungsi, sementara wilayah selatan tanah air kami tercinta terus dikoyak." Suara Fatima bergetar saat berkata, "Perang Israel tidak hanya merenggut nyawa. Perang ini juga merenggut perjuangan kami selama bertahun-tahun, rumah-rumah yang kami bangun, dan masa depan yang kami impikan," katanya.
Analis politik Lebanon Nidal Issa menjelaskan bahwa Israel masih belum menarik diri dari lima titik perbatasan yang diduduki, dan bahkan telah mendirikan pos-pos baru sambil membentuk zona penyangga de facto sejauh hingga 3 kilometer di sepanjang perbatasan yang merentang 120 kilometer.
"Agresi tanpa henti yang didukung oleh AS ini" telah menghalangi warga hingga 40 desa di Lebanon untuk kembali ke rumah mereka, imbuhnya.
Menurut data resmi, lebih dari 280 orang tewas akibat serangan yang terus berlanjut di Lebanon sejak gencatan senjata berlaku.
Bagi keluarga-keluarga di perbatasan Lebanon selatan, angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan kehidupan sehari-hari. Toko-toko masih tutup, jalanan terbengkalai, dan puing-puing menumpuk tinggi di kawasan yang dulunya ramai. Satu-satunya yang memecah keheningan mencekam adalah percakapan antartetangga dan dengungan drone Israel yang tanpa henti di udara.
Berdiri di tengah reruntuhan kampung halamannya, al-Abdallah mewakili suasana hati banyak orang yang tinggal di perbatasan. "Di sini, segalanya serasa meneriakkan perang," ujarnya. "Bahkan dalam keheningan, kami tidak pernah terbebas dari teriakan itu." Selesai

Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.