Warga Gaza terhimpit pilihan menyakitkan untuk bertahan hidup

5 days ago 9
Di Gaza, kami tidak lagi membedakan antara hidup atau mati. Hidup di sini adalah kematian yang perlahan, dan kematian terasa lebih berbelas kasih daripada penderitaan ini

Gaza (ANTARA) - Di jalan pesisir Gaza, Al-Rashid, yang kini menjadi jalur pelarian, banyak keluarga berjalan dengan susah payah ke arah selatan, dibayangi rasa takut dan kehilangan.

Anak-anak menyeret tas sekolah yang penuh dengan pakaian dan barang-barang kebutuhan pokok. Para ayah mendorong gerobak reyot berisi selimut dan roti basi, para wanita menangis sambil berjalan, seolah meratapi kesengsaraan hidup mereka.

"Saya tidak tahu lagi ketakutan mana yang lebih berat," kata Um Ahmad Ashour dari Gaza City kepada Xinhua, dengan pakaian yang penuh debu dan putrinya yang dipeluk erat.

"Apakah kehilangan anak-anak saya akibat pengeboman, atau melihat mereka menderita akibat hal yang tidak diketahui yang akan kami hadapi?"

Dengan suara bergetar, perempuan itu bercerita berminggu-minggu kami tidak bisa tidur akibat penembakan yang terus menerus.

"Kami berharap negosiasi antara Hamas dan Israel dapat mengakhiri mimpi buruk ini. Tetapi, harapan itu semakin memudar," kata Ashour.

Seperti ratusan ribu warga Palestina lainnya, Ashour tidak asing dengan kehidupan yang penuh ketidakpastian dan pengungsian.

"Selama pengungsian pertama di awal perang, kami merasakan segala macam penghinaan. Kami mati ribuan kali setiap hari," kata Ashour.

Dia kembali dari pengungsian setelah gencatan senjata berlangsung awal tahun ini. Sepulang dari pengungsian, Ashour bersumpah tidak akan pernah mengungsi lagi.

"Tapi hari ini, saya kembali ke jalan yang sama, hancur dan tidak berdaya," kata Ashour.

Warga Palestina memeriksa kerusakan pada sejumlah rumah yang berada di dalam kamp pengungsian Shati, di sebelah bawat Kota Gaza, setelah serangan Israel, pada 11 September 2025. (ANTARA/Xinhua/Rizek Abdeljawad)

Di dekatnya, tetangga Ashour yang bernama Khaled Abu Urmana (65) memegangi tangan cucunya yang gemetar, menatap ke arah cakrawala yang diselimuti debu.

"Saya juga kembali ke Gaza City setelah gencatan senjata pada Februari. Saya pikir kami akan menemukan serpihan kehidupan untuk memulihkan martabat kami. Namun, sebaliknya, kami hanya mendapati lebih banyak penderitaan," ujar dia kepada Xinhua.

"Kami berjanji kepada diri sendiri dan anak-anak kami bahwa kami akan membangun kembali rumah kami. Sekarang, semua janji itu telah lenyap".

Sambil meletakkan tangan di atas dada, Urmana berkata jika pernah mendengar seorang ibu berpendapat bahwa kematian adalah hal yang tidak diketahui, maka apa yang mereka alami adalah lebih dari sekadar rasa takut.

"Di sini, rasa takut meluas ke hari esok yang tidak diketahui keberadaannya," kata Urmana.

Setiap kali rudal jatuh, Urmana terkenang wajah-wajah tetangganya yang kini sudah tewas, bahkan bisa mendengar suara tawa anak-anak mereka dalam ingatan.

"Kemudian ditelan oleh keheningan. Kami bukan hanya angka atau gambar di layar. Kami adalah manusia yang memiliki nama, anak-anak yang memiliki mimpi, dan kenangan yang memiliki akar," kata pria tua itu.

Serangan udara Israel semakin intensif di seluruh Gaza City baru-baru ini, menyebabkan menara-menara permukiman dan blok apartemen hancur menjadi puing-puing.

Militer Israel mengatakan akan terus menargetkan "gedung-gedung bertingkat" dalam beberapa hari ke depan, lantaran menuding tempat-tempat tersebut dipergunakan Hamas, sebuah tuduhan yang dibantah oleh kelompok itu. Pasukan Israel juga telah menyebarkan selebaran dan memberikan peringatan via telepon, mendesak orang-orang untuk bergerak menuju "zona kemanusiaan" yang penuh sesak di Gaza tengah dan selatan.

Juru bicara pertahanan sipil Gaza Mahmoud Basal mengatakan kepada Xinhua bahwa kehancuran dalam waktu kurang dari sepekan telah melampaui semua yang dibayangkan. Menurut Basal, lebih dari 50.000 orang menjadi tunawisma baru; 12 gedung bertingkat tinggi dan lebih dari 120 gedung bertingkat sedang di kota itu hancur; 10 sekolah, lima masjid, dan lebih dari 600 tenda kini menjadi reruntuhan.

"Kami mengajukan permohonan mendesak kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa dan komunitas internasional untuk segera turun tangan menghentikan agresi dan melindungi warga sipil. Situasi ini merupakan bencana besar di segala aspek," ujar Basal.

Beberapa orang masih terjebak di kota tersebut, tidak dapat atau tidak mau meninggalkan kota.

Warga Palestina memeriksa kerusakan pada sejumlah rumah yang berada di dalam kamp pengungsian Shati, di sebelah bawat Kota Gaza, setelah serangan Israel, pada 11 September 2025. (ANTARA/Xinhua/Rizek Abdeljawad)

"Kami tidur dengan suara ledakan dan terbangun karena tangisan orang-orang yang terluka. Saya tidak lagi takut mati. Saya takut terbangun dan mendapati diri saya satu-satunya yang selamat dalam keluarga saya," kata Yasser Abu Shaban, seorang pria berusia 20-an tahun, kepada Xinhua.

Dia terdiam sejenak, lalu menambahkan dengan suara lirih, "Di Gaza, kami tidak lagi membedakan antara hidup atau mati. Hidup di sini adalah kematian yang perlahan, dan kematian terasa lebih berbelas kasih daripada penderitaan ini".

Otoritas kesehatan yang berbasis di Gaza pada Jumat (12/9) melaporkan bahwa jumlah korban tewas sejak dimulainya perang terbaru pada 7 Oktober 2023 telah bertambah menjadi 64.756 orang, dan lebih dari 164.000 warga lainnya mengalami luka-luka.

"Di Gaza, tidak ada perbedaan antara hidup dan mati. Keduanya telah menjadi satu wajah penderitaan. Kami berjalan menuju hal yang tidak diketahui, dan bagi saya, itu tidak kalah menakutkannya dengan kematian yang sesungguhnya," ujar Ashour sembari menyeka air mata putrinya.

Pewarta: Xinhua
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |