Kabul (ANTARA) - Afghanistan adalah salah satu negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim di dunia, yang mengalami kekeringan berulang, banjir tiba-tiba, dan meningkatnya kelangkaan air yang mengancam penghidupan jutaan orang, khususnya mereka yang mengandalkan sektor pertanian.
Pada Hari Bumi, Abdul Razzaq, seorang petani berusia 56 tahun yang berasal dari distrik Burka di Provinsi Baghlan, Afghanistan utara, berdiri di lahannya yang gersang dan bercerita tentang kekeringan dan banjir yang terjadi di luar musim.
"Ketika kami menabur benih di sini, kami tidak mendapat apa-apa. Benih itu mengering. Gandum dan tanaman kami terbakar, dan kami duduk tak berdaya di rumah," tutur Razzaq kepada Xinhua.
"Sepanjang ingatan saya, kami mengalami kekeringan setiap dua atau tiga tahun, dan jika hujan, kami bertahan hidup, jika tidak hujan, kami tidak punya apa-apa," tambahnya.
Razzaq adalah pencari nafkah bagi keluarganya yang terdiri dari sembilan orang. Banjir parah menghancurkan lahannya tahun lalu, dan dia belum membersihkan bebatuan yang tersisa akibat banjir dan melanjutkan pertaniannya. Dia mengkhawatirkan penghidupan keluarganya.
"Jika kekeringan berlanjut dan hujan tidak turun, apa yang akan kami lakukan? Makan batu? Di sini tidak ada apa-apa. Terkadang kami menjalani hari dalam kondisi lapar, terkadang tidak," tuturnya sambil berdiri di samping sebuah batu besar yang tertinggal saat banjir.
Menurut Inisiatif Adaptasi Global Notre Dame (Notre Dame Global Adaptation Initiative), Afghanistan termasuk di antara tujuh negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Krisis lingkungan yang sedang berlangsung tidak hanya menghancurkan tanaman namun juga mengancam ternak dan memicu pengungsian massal.
Haji Egan Birdi, seorang petani lokal lainnya, menyoroti dampak sosial yang lebih luas akibat kekeringan di desanya.
"Sebagian besar pria meninggalkan desa untuk mencari kerja. Hanya orang-orang lanjut usia dan wanita yang tetap di sini. Jika kekeringan terus berlangsung, semakin banyak orang terpaksa harus pergi," ujarnya.
Situasinya sangat buruk. Pada 2024 saja, kekeringan dan banjir yang meluas telah berdampak pada jutaan warga di Afghanistan utara dan barat, menghancurkan ribuan hektare lahan pertanian.
Abdulhadid Achakzai, direktur EPTDO, sebuah organisasi lokal yang berfokus pada perlindungan dan pembangunan lingkungan, mengatakan situasinya bertambah buruk dengan cepat.
"Kami melakukan penelitian di 29 provinsi tahun ini dan menemukan penurunan yang signifikan pada permukaan air tanah," katanya. "Bahkan di daerah-daerah dekat sungai, permukaan air menurun dari hari ke hari."
Achakzai menekankan bahwa Afghanistan kekurangan kemampuan infrastruktur teknis dan finansial untuk menanggapi krisis iklim secara efektif.
Seorang petani berjalan di daerah yang terkena banjir di distrik Burka di provinsi Baghlan utara, Afghanistan, 20 April 2025. (ANTARA/Xinhua/Saifurahman Safi)
Sementara itu, otoritas lingkungan Afghanistan mengonfirmasi ancaman iklim yang meningkat.
"Meningkatnya suhu, pergeseran pola curah hujan, menurunnya produktivitas pertanian dan peternakan, mencairnya gletser, dan hilangnya keanekaragaman hayati merupakan beberapa konsekuensi yang membahayakan banyak sektor," kata Insinyur Ruhullah Amin, kepala bidang perubahan iklim di Badan Perlindungan Lingkungan Hidup Nasional.
Seiring memburuknya tantangan perubahan iklim dan kemiskinan, warga Afghanistan harus menghadapi masa depan yang semakin tidak pasti.
Pewarta: Xinhua
Editor: Ade irma Junida
Copyright © ANTARA 2025