Wamenkum: Penyusunan KUHP baru lama karena Indonesia negara beragam

3 months ago 17

Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Hiariej menjelaskan penyusunan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru memakan waktu yang lama karena Indonesia merupakan negara yang beragam.

"Menyusun KUHP di negara yang multietnis, multireligi, multikultur seperti Indonesia itu tidak semudah membalikkan telapak tangan," ungkap pria yang akrab disapa Eddy tersebut dalam acara Webinar Sosialisasi Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP di Jakarta, Kamis.

Dengan keberagaman yang ada, kata dia, terjadi perdebatan yang memakan waktu berjam-jam, berhari-hari, berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat membahas KUHP baru.

Bahkan, sambung dia, silang pendapat itu tidak hanya antara Pemerintah dan DPR, tetapi juga antara para pembentuk UU dan masyarakat, hingga Pemerintah dengan para tim ahli yang menyusun KUHP.

Jika dihitung sejak izin prakarsa pada tahun 1957 hingga disahkan pada akhir tahun 2022, tercatat proses pembuatan KUHP Indonesia berlangsung lebih dari 60 tahun.

“Tetapi kalau dihitung sejak rancangan pertama masuk ke DPR tahun 1963, berarti lamanya pembuatan itu 59 tahun,” katanya.

Meski waktu yang dibutuhkan dalam pembuatan KUHP tidak singkat, dirinya menyatakan hal tersebut bukan sesuatu yang luar biasa.

Pasalnya, dia menekankan bahwa tidak ada satu pun negara di dunia yang ketika terlepas dari penjajahan bisa langsung menyusun KUHP dalam waktu singkat.

Ia mencontohkan, Belanda yang hanya memiliki luas wilayah sebesar provinsi Jawa Barat saja membutuhkan waktu 70 tahun untuk membuat KUHP yang dinamakan Wetboek van Strafrecht (WvS).

"Jadi kalau kita 59 tahun itu sebetulnya tidak lama, meskipun dalam pembuatan UU kita itu termasuk sangat lama,” tutur Wamenkum.

Selain membutuhkan waktu lama dalam proses penyusunannya, dia menilai KUHP baru juga memberikan tantangan dalam mengubah paradigma hukum pidana.

Lebih lanjut, perubahan paradigma dimaksud, yakni tidak lagi meletakkan hukum pidana sebagai lex talionis atau sarana balas dendam, melainkan menempatkan hukum pidana dengan tiga visi utama yang menjadi paradigma hukum pidana modern, yaitu keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif.

“Mengubah paradigma itu sulit, sehingga yang pertama menjadi sasaran itu aparat penegak hukum, baru kemudian seluruh masyarakat Indonesia secara keseluruhan,” ujarnya menambahkan.

Baca juga: YLBHI: Revisi KUHAP-KUHP jalan reformasi kepolisian

Baca juga: Wamenkum: KUHP baru atur hakim tak langsung jatuhkan pidana penjara

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |