Wamendagri: Revisi UU Pemilu harus pertimbangkan kepentingan nasional

1 month ago 12

Depok (ANTARA) - Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto mengatakan Revisi UU Pemilu harus mempertimbangkan kepentingan nasional (Indonesia Emas 2045) dan kondisi global yang sedang terjadi.

Hal tersebut dikatakan Bima Arya dalam webiner Ngoprek (Ngobrol Perihal Negara dan Konstitusi) yang diselenggarakan Pusat Studi Hukum Tata Negara (PSHTN) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Jumat.

Webiner ini membahas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah.

Selain Bima Arya sebagai narasumber yaitu Ketua Departemen Ilmu Politik FISIP UI Dr. Phil. Panju Anugerah Permana, dan Dewan Pembina Perludem sekaligus pengajar Ilmu Hukum Tata Negara di FH UI Titi Anggraini .

Dalam keterangan pers yang dikeluarkan UI, Bima Arya menegaskan bahwa revisi UU Pemilu didasarkan pada kerangka, sistem, dan pelembagaan politik.

Sistem pemilu yang dikembangkan saat reformasi didasarkan pada keinginan tingkat partisipasi daerah yang tinggi.

"Tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana meracik pengembangan sistem untuk jangka panjang dengan tetap menjaga integritas bangsa," katanya.

Sementara Titi Anggraini menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat dan berdampak langsung terhadap peraturan pelaksanaan pemilu, sehingga perlu dipatuhi dan ditindaklanjuti oleh pemerintah dan DPR.

Pemerintah diminta segera untuk membahas RUU Pemilu.Titi menyampaikan bahwa perlu segera dilakukan pembahasan RUU Pemilu yang mencakup pengaturan pemilu legislatif, pemilu presiden, pemilu kepala daerah, dan penyelenggaraan pemilu.

Perubahan tersebut tentunya harus diikuti dengan sinkronisasi pengaturan antara pemilu anggota DPRD, pilkada, serta penganggaran.

Sebab, sebelumnya pemilu anggota DPRD dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN), sedangkan pilkada dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Sedangkan Dr. Panju Anugrah Permana menyebut putusan MK tersebut sebagai bentuk judicial overreach yang berpotensi mengganggu stabilitas kelembagaan politik.

"Putusan ini masuk terlalu jauh ke ranah kebijakan teknis. Dampaknya bukan hanya administratif, tapi menyentuh jantung demokrasi lokal: mulai dari meningkatnya politik uang, hingga populisme dan fragmentasi elit,” ungkap Panju.

Panju memperkenalkan kerangka A-E Theory (access to power dan exercising of power) untuk menganalisis bagaimana pemisahan pemilu ini dapat melemahkan akuntabilitas pemerintahan daerah dan memperkuat pola patronase yang sudah mengakar.

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |