Bandung (ANTARA) - Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No 20 tahun 2003 yang telah ada lebih dari 20 tahun dinilai sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman, dan revisinya ke depan diarahkan untuk terintegrasi dengan aturan lainnya.
Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Atip Latipulhayat mengatakan, keberadaan UU Sisdiknas dengan sejumlah undang-undang sektoral terkait pendidikan seperti UU Pendidikan Tinggi, serta UU Guru dan Dosen menyebabkan cukup seringnya terjadi tumpang tindih, sehingga muncul dorongan untuk pembahasan revisi beleid ini dengan pendekatan kodifikasi agar lebih sistematis.
"Ini ya, akan direvisi pertama karena dari segi usianya, sudah 22 tahun. Pasti banyak perubahan-perubahan yang terjadi saat ini. Karena itu, ke depan, semuanya akan disatukan agar bisa mencerminkan satu sistem pendidikan yang utuh dan terintegrasi dalam satu regulasi. Saya kira itu poin pentingnya," kata Atip di Kampus UPI Bandung, Senin.
Sementara itu, Ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) M Solehuddin mengatakan UU Sisdiknas yang telah lebih dari dua dekade ini perlu diperbaharui agar bisa menyesuaikan dengan kebutuhan zaman. Dan dengan kodifikasi, perlu dilakukan agar tidak terjadi lagi inkonsistensi antara regulasi satu dengan yang lainnya, dengan tujuan menciptakan sistem pendidikan yang lebih berkeadilan, inklusif, dan terintegrasi.
"RUU Sisdiknas ini usianya sudah lebih dari 20 tahun. Tentu banyak hal yang sudah tidak lagi terakomodasi. Pikiran 20 tahun lalu jelas beda dengan kebutuhan pendidikan hari ini. Sudah saatnya dilakukan kodifikasi agar tidak saling tumpang tindih," kata Solehuddin di lokasi yang sama.
Selain faktor usia dan inkonsistensi hukum, menurut Rektor UPI ini, pemerataan akses pendidikan dan peningkatan kualitas layanan pendidikan menjadi isu paling mendesak yang harus dijawab dalam revisi UU ini.
Baca juga: Anggota Komisi X: PTKL perlu ikut dikaji dalam revisi UU Sisdiknas
Baca juga: Anggota Komisi X paparkan faktor pendorong UU Sisdiknas perlu direvisi
"Ujungnya kan kualitas. Bagaimana kita menciptakan pendidikan yang berkualitas bagi semua warga bangsa Indonesia. Itu hanya mungkin terjadi kalau regulasinya menjamin keadilan," ujarnya.
Selain itu, Solehuddin mengatakan pihak ISPI juga menyoroti kewenangan dan karakteristik perguruan tinggi. Di mana tiap perguruan tinggi memiliki mandat yang luas untuk merambah pada pendidikan berbagai bidang, namun harus tetap memiliki ciri khas.
"Misalnya UPI tetap harus unggul di bidang pendidikan. Kami dimandatkan untuk menyediakan berbagai program studi. Tapi kalau kami punya Fakultas Kedokteran, maka harus ada integrasi. Kita kembangkan kedokteran yang punya kekhasan pendidikan. Kemudian karena kami punya Fakultas Keolahragaan, Fakultas Kedokterannya bisa diarahkan ke sport medicine," katanya.
Menurut dia, pembatasan spesialisasi universitas-universitas tertentu saja akan mempersulit pemenuhan kebutuhan nasional seperti contohnya dalam bidang medis.
"Sulit itu. Bahkan di Jawa Barat saja, kebutuhan tenaga medis belum terpenuhi setengahnya," ucap dia.
Lebih lanjut, ia menyambut baik keterbukaan pemerintah dan parlemen dalam menerima masukan atas revisi UU Sisdiknas.
Ia menyebut hal itu sebagai peluang besar bagi komunitas akademik dan organisasi keilmuan untuk memberi kontribusi langsung terhadap arah kebijakan pendidikan nasional.
"Tinggal bagaimana kita, secara serius dan kolektif, memberikan pemikiran yang benar-benar kontributif. Ini saatnya dunia akademik bersuara secara substansial," tuturnya menambahkan.
Baca juga: Mendikdasmen tegaskan siap patuhi putusan MK terkait UU Sisdiknas
Baca juga: Kemendikdasmen koordinasi dengan K/L terkait tindaklanjuti putusan MK
Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2025