Pejabat publik dan ujian integritas

2 hours ago 1

Mataram (ANTARA) - Integritas pejabat publik adalah fondasi utama kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Di era digital, kepercayaan itu tidak hanya ditentukan oleh program pembangunan atau kebijakan besar, melainkan juga oleh hal-hal kecil seperti sikap, tutur kata, hingga gestur yang terekam kamera.

Dunia maya yang serba cepat menjadikan setiap gerak-gerik pejabat sebagai konsumsi publik yang bisa dipuji, dikritik, atau bahkan dipelintir dalam hitungan detik.

Kini, ruang untuk bersikap tanpa sorotan hampir hilang. Potongan video berdurasi singkat mampu menciptakan opini massal dan memicu polemik berkepanjangan.

Fenomena ini bukan sekadar persoalan komunikasi, melainkan ujian etika bagi pejabat yang diharapkan menjadi teladan. Publik menuntut figur yang sabar, santun, dan mampu menjaga wibawa jabatan, bahkan dalam situasi sepele sekalipun.

Fenomena itu mencuat di Nusa Tenggara Barat (NTB) setelah beredarnya video Kepala Kanwil Kemenag NTB, Zamroni Aziz. Dalam rekaman yang beredar luas sejak akhir pekan lalu, ia tampak menyingkirkan gagang mikrofon saat pelantikan Kepala Kemenag Dompu, Najamuddin, Jumat (19/9). Potongan gambar itu ditafsir berbeda-beda, bahkan ada yang menyebutnya sebagai aksi “melempar mikrofon” di hadapan hadirin.

Bagi sebagian warga, gestur itu mencederai wibawa acara resmi. Walaupun Kemenag NTB segera mengklarifikasi bahwa mikrofon hanya disingkirkan karena menghalangi prosesi ucapan selamat, persepsi publik sudah telanjur terbentuk. Di era media sosial, gestur kecil bisa membesar menjadi simbol integritas yang dipertanyakan.

Kasus ini menjadi pengingat bahwa integritas pejabat tidak hanya diukur dari kebijakan besar, tetapi juga dari sikap dan ekspresi spontan yang terekam kamera. Kepercayaan publik dapat runtuh bukan karena aturan yang dilanggar, melainkan karena etika dan kepatutan yang dianggap terabaikan.

Belum reda isu mikrofon, publik NTB dikejutkan lagi oleh pelantikan Irnadi Kusuma sebagai Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) NTB. Nama Irnadi sempat jadi sorotan karena pernah diputus bersalah dalam kasus pidana dengan hukuman enam bulan penjara dan masa percobaan satu tahun.

Pemerintah Provinsi NTB menegaskan bahwa pengangkatan tersebut sah secara aturan. Kepala Dinas Kominfotik NTB, Yusron Hadi, menyebut proses seleksi sudah melewati uji kompetensi, penilaian kinerja, hingga pertimbangan teknis BKN. Menurutnya, setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk berkontribusi sepanjang tidak ada aturan hukum yang melarang.

Namun, legitimasi administratif tidak serta-merta menjawab pertanyaan moral. Publik mempertanyakan, apakah pantas seorang mantan terpidana memimpin jabatan strategis di birokrasi daerah?

Celah hukum

Secara hukum, memang tidak ada aturan tegas yang melarang mantan terpidana menduduki jabatan struktural setelah masa hukumannya selesai. Peraturan Pemerintah (PP) No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS, yang diperbarui dengan PP No. 17 Tahun 2020, lebih banyak mengatur syarat administratif. Celah inilah yang membuat kasus Irnadi sah secara hukum, namun dipersoalkan dari sisi etika.

Di negara lain, standar integritas pejabat jauh lebih ketat. Seorang pejabat publik dituntut bebas dari catatan pidana karena jabatan publik adalah simbol kepercayaan rakyat. Secara legal boleh, tetapi secara sosial kontraproduktif. Kepercayaan publik bisa terkikis, bahkan muncul stigma bahwa birokrasi mengabaikan kepatutan.

Bila dikaitkan dengan asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) dalam UU No. 30 Tahun 2014, keputusan seperti ini berpotensi mengabaikan asas kepatutan dan kepentingan umum. Legitimasi moral yang tergerus dapat berakibat lebih fatal daripada sekadar polemik teknis kepegawaian.

Dua peristiwa di NTB ini sesungguhnya berkelindan pada satu isu yakni integritas pejabat. Integritas tidak cukup diukur dari kepatuhan terhadap aturan, tetapi juga simbol, teladan, dan persepsi publik.

Gestur seorang pejabat yang tampak emosional dapat merusak citra. Begitu pula mengangkat mantan terpidana ke kursi penting bisa dianggap menurunkan standar moral birokrasi. Dalam kedua kasus, publik menilai nilai kepatutan telah diabaikan.

Birokrasi bekerja bukan hanya secara teknis, tetapi juga dalam arena simbolik. Masyarakat menilai pejabat dari etika, wibawa, dan sikap sehari-hari, bukan hanya dari laporan kinerja. Retaknya integritas di satu sisi bisa menggerus legitimasi kebijakan di sisi lain.

Ada contoh baik dari berbagai daerah maupun negara yang bisa dijadikan acuan. Sejumlah pemerintah daerah di Indonesia telah menyusun kode etik pejabat yang lebih ketat daripada aturan nasional. Bahkan, ada kepala daerah yang berani menolak calon pejabat berkasus meski secara administratif memenuhi syarat.

Di tingkat global, negara-negara Skandinavia menetapkan standar tinggi. Transparansi rekam jejak pejabat bersifat wajib, sehingga publik bisa mengakses informasi lengkap. Prinsipnya sederhana adalah integritas tidak boleh ditawar.

Pembinaan etika

Kasus Zamroni dan Irnadi seharusnya menjadi alarm korektif bagi birokrasi NTB. Regulasi yang ada memberi ruang legal, tetapi masih kurang memperhatikan norma etik. Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh.

Pertama, revisi regulasi dengan memperketat syarat pengangkatan pejabat dengan menambahkan kriteria “rekam jejak bersih”. Kedua, kode etik daerah, dimana Pemprov NTB dapat merumuskan kode etik pejabat yang menekankan aspek moral, bukan sekadar administratif.

Ketiga, pembinaan karakter ASN yakni dengan menggelar pelatihan pejabat harus mencakup integritas, kepemimpinan etis, dan pengendalian diri. Keempat, transparansi publik yakni membuka akses informasi rekam jejak calon pejabat akan memperkuat akuntabilitas.

Dua peristiwa yang hampir bersamaan di NTB menjadi cermin penting yakni integritas pejabat publik tidak bisa diremehkan. Dari mikrofon yang tersingkir hingga kursi jabatan yang diperebutkan, publik menilai semuanya sebagai ukuran moral.

Kepercayaan masyarakat adalah modal utama birokrasi. Sekali retak, sulit dipulihkan. Karena itu, pejabat publik mesti menyadari bahwa setiap tindakan mereka adalah cermin negara.

Pertanyaannya, apakah kita akan terus membiarkan celah hukum dan sikap simbolik merusak kepercayaan, atau berani menegakkan standar integritas yang lebih tinggi demi marwah pelayanan publik?

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |