Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua MPR RI Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) menegaskan bahwa menulis dan membaca adalah cara mempertajam pikiran, jalan mewujudkan impian, memajukan peradaban, dan menjawab kebodohan.
Hal tersebut disampaikan Ibas dalam audiensi penulis muda perempuan Indonesia yang bertajuk “Ibu Punya Mimpi, Perempuan Berkisah: Penulis Indonesia Mendunia Tak Berbatas” di Gedung MPR RI, Jakarta, Rabu (12/3). Oleh karena itu, dia menegaskan bahwa penulis-penulis Indonesia, khususnya penulis muda, harus tetap eksis, mendunia tak berbatas.
“Membaca dan menulis adalah salah satu cara kita untuk mempertajam pikiran. Dengan membaca dan menulis kita dapat terus bekerja dan berkarya. Setiap buku yang kita baca adalah jendela kehidupan. Setiap kata yang kita tulis membentuk ide-ide dan gagasan,” kata Ibas dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Tak hanya itu, menurutnya, menulis dan membaca adalah jalan menciptakan perubahan dan mewujudkan impian.
“Menulis dan membaca menambah pengetahuan dan menulis apa yang ada di dalam hati, di situlah kekuatan kita untuk menciptakan perubahan dan mewujudkan impian," ujarnya.
“Membaca dan menulis juga menjawab tentang kebodohan. Menjadi terdepan mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai cita-cita pendiri bangsa. Dan pada saatnya menjadi pejuang masa kini untuk mengurangi kemiskinan serta pengangguran,” sambung dia.
Ibas kemudian memberikan apresiasi kepada seluruh penulis muda hebat yang telah hadir, telah berkarya, memberikan hasil nyata untuk kehidupan ini. Tidak hanya menuliskan dalam kata tapi juga menjadi perempuan yang memperjuangkan literasi menjadi lebih baik dalam kehidupan Indonesia.
Lebih lanjut, dirinya juga menyampaikan bahwa sebagai sebuah bangsa, Indonesia memiliki kekayaan sastra yang luar biasa.
“Dari waktu ke waktu, penulis Indonesia, baik pria maupun wanita, telah menunjukkan bahwa kata-kata dapat mengubah dunia," ucap Ibas.
“Sebut saja R.A. Kartini ‘Habis Gelap, Terbitlah Terang’ hingga hari ini hampir semua sastrawan penulis di Indonesia pasti paham dan tahu, sosok yang menginspirasi kita terkait emansipasi perempuan, tapi lebih lanjut tentang bagaimana seorang memperjuangkan kehidupan, pendidikan yang ada di Indonesia,” ungkapnya.
“Kita juga tahu, ada Sarimin Ismail, di 1933, novelis perempuan pertama di Indonesia, yang menciptakan karya-karya menginspirasi hingga hari ini, dengan judul ‘Kalau Tak Untung’ ketika itu,” tambah dia.
Di era modern ini, Ibas menilai Indonesia juga memiliki banyak penulis hebat, seperti Ayu Utami dan Dee (Dewi) Lestari. Untuk itu, dia menegaskan bahwa penulis sangatlah penting.
"Bukan hanya sekedar ketrampilan untuk mencari uang semata tetapi juga bisa membentuk peradaban. Lewat menulis kita bisa menyampaikan gagasan. Lewat menulis kita bisa merekam sejarah. dan Lewat menulis kita bisa menawarkan solusi," tutur Ibas.
Karya tulis yang dimaksud Ibas di sini adalah berupa apa saja, mulai dari buku romansa, cerpen jenaka, esai akademia, hingga opini kritis, dan lainnya.
Erisca Febrian seorang novelis penulis buku Dear Nathan yang juga peserta menyampaikan apresiasi dan aspirasinya.
“Saya sangat senang, Pak Ibas menyebutkan Sarimin Ismail. Sosok yang jarang dibaca dan dibahas di era modern ini. Saya berharap sastrawan sebelum era kontemporer punya kesempatan ruang untuk dibahas dan diperkenalkan ke generasi muda. Saya juga berharap bahwa stigma cerita yang ditulis perempuan kurang berbau nasionalisme itu dihapus. Padahal mereka penulis perempuan juga punya peran membahas kemajuan dan pemikiran-pemikirannya,” ucap Erisca.
Pada acara ini hadir beberapa peserta yang merupakan penulis perempuan, di antaranya Meisya Sallwa, Grace Reinda, Fayanna Allisha, Nadzira Shafa Askar, Erisca Febriani, dan lain sebagainya. Hadir pula Anggota FPD DPR RI Sabam Sinaga, Raja Faisal Manganju Sitorus, dan Faujia Helga Br. Tampubolon.
Baca juga: Wakil Ketua MPR: Kerja sama dengan Vietnam harus ditingkatkan
Baca juga: Ketua MPR ingatkan masyarakat bersatu membangun Indonesia
Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2025