Jakarta (ANTARA) - Kebijakan publik seringkali lahir dari opini politik, intuisi pribadi, hingga tekanan publik. Pada era keterbukaan informasi saat ini, kebijakan yang diambil cenderung populis, tetapi pendekatan tersebut bukan berarti bebas dari risiko, bahkan bisa jadi merugikan masyarakat.
Misalnya saja kebijakan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Laiskodat pada 2023 yang menerapkan masuk sekolah pukul 5.30 WITA dengan alasan melatih kedisiplinan siswa. Kebijakan tersebut menuai protes dari masyarakat, dan aturan tersebut dicabut oleh Pj Gubernur NTT saat itu yakni Ayodhia Gehak Lakunamang Kalake.
Diperlukan pengambilan kebijakan yang berdasarkan bukti data empiris, penelitian ilmiah, hingga evaluasi sistematis. Pendekatan ini diyakini dapat meningkatkan efektivitas dan efesiensi penggunaan anggaran, meminimalisir dampak yang tidak diinginkan, membangun kepercayaan publik, hingga mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN), Dr Muhammad Taufiq, menekankan pentingnya pengambilan kebijakan yang berbasiskan pada bukti.
"Sebagai instansi pemerintah, maka tanggung jawab pertama adalah membangun kualitas kebijakan, dan kita membina para analis kebijakan bagaimana mengambil kebijakan yang berbasiskan bukti," kata Taufiq dalam diskusi “Urgensi Pendidikan Lanjutan Kebijakan Publik di Indonesia” yang diselenggarakan Institute of Public Policy (IPP) Unika Atma Jaya (UAJ) di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Selain berbasiskan pada bukti, juga bersandar pada nilai yang disebut dengan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Kedua hal tersebut dituangkan dalam Indeks Kualitas Kebijakan, yang saat ini persentasenya masih 39 persen.
Dengan demikian, dalam proses pembuatan suatu kebijakan dibutuhkan penguatan berbasiskan bukti. Meski tidak mudah, karena pengambilan kebijakan biasanya dilakukan dalam waktu cepat dan informasi yang terbatas, kehadiran para analis kebijakan diharapkan dapat menawarkan solusi baru.
"Perlu adanya pengembangan ekosistem kebijakan yang tidak hanya terdiri dari pegawai pemerintah saja, tetapi juga swasta, akademisi, masyarakat, dan juga awak media," kata Taufiq lagi.
Direktur Eksekutif IPP, Dr. Salvatore Simarmata, mengatakan penting mengkaji ulang arah pendidikan kebijakan publik di Indonesia di tengah berbagai tantangan dan peluang yang ada. Pihaknya berkomitmen mewujudkan kebijakan berbasis bukti untuk masa depan Indonesia yang lebih sejahtera, adil, dan inklusif.
Visi Indonesia Emas hanya dapat terwujud jika perguruan tinggi turut menjadi bagian dari penguatan kebijakan publik di Indonesia. Perguruan tinggi tak hanya fokus pada inovasi teknologi, tetapi juga pada penciptaan produk kebijakan berbasis bukti ilmiah yang berdampak bagi masyarakat.
Menurut dia, yang terpenting adalah bagaimana bisa mengadopsi hasil-hasil riset yang berasal dari perguruan tinggi maupun lembaga riset, sebagai landasan dalam pengambilan kebijakan.
"Hasil-hasil riset itu dapat digunakan para pembuat kebijakan, sehingga bisa menghasilkan kebijakan yang lebih tepat sasaran," kata Salvatore.
Kebijakan berbasis bukti sendiri mengacu pada dua hal, yaitu bukti sebagai dasar untuk mengidentifikasi apa yang menjadi masalah strategik dan bukti yang menjadi dasar untuk menentukan mana solusi yang paling tepat.
Baca juga: BSKDN dorong penguatan kebijakan publik yang inklusif lewat dialog
Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
















































