Jakarta (ANTARA) - Mantan Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger mungkin tidak menyangka bahwa ucapannya, yaitu "Menjadi musuh Amerika mungkin berbahaya, tetapi menjadi teman Amerika adalah hal yang fatal," masih relevan pada 2025.
Peristiwa yang membuktikan ucapan itu terjadi di Ruang Oval, kantor resmi Presiden Amerika Serikat yang terletak di Gedung Putih di Washington DC, Jumat (28/2). Di depan media, Saat itu, Presiden AS Donald Trump dan Wakil Presiden AS JD Vance tengah berhadapan dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.
Zelenskyy, yang sebagian wilayah negaranya telah dicaplok melalui invasi oleh Rusia, kemungkinan telah merasa aneh sejak pertama perbincangan itu dilakukan antara pihak pemimpin negara adidaya itu dengannya. Zelenskyy melakukan kunjungan ke AS terkait dengan kepastian jaminan keamanan untuk melindungi kedaulatan negaranya yang telah dilanggar pasukan Rusia.
Namun, Vance dalam diskusi itu bukannya memastikan tentang jaminan keamanan Ukraina (yang diminta dengan imbalan akses kepada kerja sama penambangan mineral langka di Ukraina), tetapi malah mengemukakan bahwa cara yang dilakukan oleh Presiden AS sebelumnya, Joe Biden, dengan "thumping our chess" atau bersikap gagah, telah gagal.
Untuk itu, Vance menyatakan jalur yang perlu ditempuh adalah negosiasi sebagaimana yang dilakukan oleh Presiden Trump. Perlu diingat bahwa negosiasi yang telah dilakukan oleh AS dengan Rusia di Riyadh, Arab Saudi, beberapa waktu lalu, ternyata juga tidak menghasilkan "perdamaian segera" seperti yang dijanjikan oleh Trump pada masa kampanyenya.
Zelenskyy kemudian berupaya mengingatkan kepada Vance bahwa Rusia telah melakukan pendudukan sejak tahun 2014 dengan pencaplokan Krimea. Setelah itu, pasukan Rusia terus melakukan invasi dan kembali menduduki sejumlah wilayah di Ukraina bagian timur. Belum ada yang berhasil menghentikan aksi agresi itu.
Zelenskyy terus mengingatkan bahwa dirinya pernah menandatangani kesepakatan gencatan senjata dengan Putin. Faktanya, memang Rusia dan Ukraina telah beberapa kali menyelenggarakan perjanjian, seperti Perjanjian Minsk I pada 2014, Perjanjian Minsk II pada 2015 (keduanya di Belarus), serta KTT Normandia di Prancis pada 2019.
Namun, dalam berbagai perjanjian tersebut, kedua belah pihak saling menuduh melakukan pelanggaran sehingga kondisi di lapangan tetap tegang, sehingga konflik tidak berhenti sebagaimana yang diharapkan. Malah, Rusia melakukan invasi penuh (yang disebut sebagai "operasi militer khusus" di Rusia) ke Ukraina sejak Februari 2022.
Wajar saja bila kemudian Zelenskyy bertanya, negosiasi seperti apa lagi yang akan dilakukan, yang dijawab Vance dengan negosiasi yang akan mengakhiri kehancuran Ukraina.
Tidak berhenti di situ, Vance kemudian menuding bahwa Zelenskyy sedang melakukan sikap tidak sopan dengan berupaya mengemukakan argumen pihaknya. Tudingan itu berlangsung di depan media dan warga dunia yang menyaksikan siaran langsung diskusi itu.
Harus terima kasih
Ujung-ujungnya, Vance menyatakan bahwa Zelenskyy seharusnya berterima kasih kepada Presiden Trump yang berupaya menghentikan konflik antara Rusia dan Ukraina. Tidak lama kemudian, Vance mengindikasikan bahwa Zelenskyy bersikap tidak hormat dengan datang ke Ruang Oval dan menyerang pemerintah AS, padahal pemerintah AS adalah pihak yang berusaha mencegah datangnya kehancuran ke pihak Ukraina.
Setelah Zelenskyy berupaya untuk mengajukan argumennya, Trump yang kemudian menyela dan menyatakan bahwa Zelenskyy tidak dalam posisi untuk "mendikte", bahwa Zelenskyy tidak berhak untuk berpendapat mengenai apa yang dirasakan oleh AS.
Zelenskyy juga disebut telah menempatkan Ukraina dalam posisi yang sangat buruk, telah mempertaruhkan terjadinya Perang Dunia Ketiga, serta telah melakukan "sikap tidak hormat" kepada AS.
Vance kemudian bertanya kepada Zelenskyy apakah dirinya dalam pertemuan ini pernah mengucapkan terima kasih? Tentu saja, yang dimaksud Vance adalah bantuan dalam beragam bentuk yang telah digelontorkan oleh AS kepada Ukraina, padahal Zelenskyy dalam sejumlah kesempatan telah mengucapkan apresiasi dan terima kasih atas berbagai bantuan yang telah diberikan kepada Ukraina.
Ketika Zelenksyy berupaya memberi penjelasan, Trump menyela dengan mengatakan bahwa pemimpin negara Ukraina itu telah banyak bicara, dan mengingatkan bahwa Ukraina sedang dalam masalah besar, dan Ukraina juga tidak dalam posisi menang dalam konflik melawan Rusia. Trump juga menyatakan bahwa bila Ukraina tidak memperoleh bantuan peralatan militer, maka perang tersebut akan segera berakhir dalam waktu yang singkat.
Duet Trump dan Vance berhasil mempermalukan Zelenskyy di depan mata dunia, seperti dua orang perundung yang berhasil menjinakkan korbannya. Pesan yang disampaikan kepada pemimpin Ukraina adalah betapa banyaknya bantuan yang telah diberikan AS ke negara itu, sehingga seharusnya Ukraina berterima kasih.
Apakah Trump dan Vance lupa bahwa tidak hanya AS yang membantu Ukraina? Namun negara-negara lain terutama di benua Eropa juga tidak sedikit yang berkorban untuk memberikan berbagai peralatan militer mereka dalam rangka membantu Ukraina untuk melawan agresi yang dilakukan Rusia?
Sebenarnya, pesan yang tertangkap oleh warga dunia adalah bagi siapa saja yang pernah menerima bantuan dari pemerintah AS, mereka jangan lupa untuk terus-menerus mengucapkan terima kasih, karena bila tidak, mereka yang diberikan bantuan sama saja "tidak menghormati" AS.
Hal ini sebenarnya tidak mengherankan keluar dari pemerintah Trump, yang telah membekukan USAID, atau lembaga yang sebelumnya dikenal kerap memberikan bantuan kepada berbagai pertolongan kemanusiaan di berbagai belahan dunia.
Selain itu, kejadian menghebohkan dalam diskusi pemimpin AS-Ukraina itu juga menunjukkan bahwa AS di bawah Trump akan selalu minta dihormati. Trump telah beberapa kali menyatakan bahwa AS tidak dihormati adalah salah satu landasan yang membuatnya mengeluarkan kebijakan penerapan tarif kepada berbagai negara.
Trump dan Vance mungkin dapat membusungkan dada karena mereka berhasil mencecar Zelenskyy, tetapi sikap yang mereka tunjukkan akan terpatri di lintasan sejarah tentang bagaimana contoh ketidaknegarawanan dilakukan oleh seorang kepala negara dan wakilnya dalam menjamu seorang tamu negara.
Kemiliteran AS-Eropa
Kembali kepada hubungan AS dan Ukraina, kejadian kisruh di Ruang Oval itu juga berpotensi membuat AS ke depannya tidak akan lagi mendukung Ukraina. Ukraina tampaknya hanya akan bergantung kepada dukungan terutama dari negara-negara Eropa yang ingin tidak lagi bergantung kepada kekuatan militer AS.
Pemikiran seperti itu memang sudah lama tercetus seperti Presiden Prancis Emmanuel Macron yang ingin menciptakan "tentara Eropa" hingga pemimpin partai pemenang pemilu parlemen 2025 di Jerman, Friedrich Merz, yang bertekad untuk "mandiri dari AS".
Dapatkah Eropa tidak lagi bergantung kepada militer AS? Meskipun Eropa memiliki potensi untuk membangun otonomi militer yang lebih besar, tetapi hal itu dinilai tidak mungkin dapat dilakukan dalam waktu dekat ini.
Pasalnya, Eropa dinilai sudah sangat terintegrasi ke dalam NATO, sebuah aliansi militer dengan AS yang memegang peran dominan. Selain itu, AS juga menyediakan faktor pencegahan perang nuklir, karena banyak negara Eropa mengandalkan payung nuklir AS sebagai jaminan keamanan mereka terhadap potensi ancaman, seperti Rusia.
Patut diingat bahwa kekuatan militer di Eropa belum sepenuhnya terintegrasi dengan baik, serta banyak negara Eropa masih mengeluarkan anggaran pertahanan yang lebih sedikit dibandingkan dengan AS dan banyak bergantung pada teknologi militer, intelijen, dan logistik yang disediakan oleh AS. Dengan kata lain, terdapat kesenjangan kapabilitas seperti dalam kapasitas pengangkutan udara strategis dan kecanggihan teknologi militer yang selama ini masih dimiliki AS.
Berbagai faktor itu juga kemungkinan yang menyebabkan setelah terjadinya perdebatan sengit di Gedung Putih, Presiden Zelenskyy dalam wawancara dengan salah satu stasiun televisi AS menyatakan bahwa hubungannya dengan Trump bisa diselamatkan karena hubungan historis antara kedua negara lebih dari sekadar hubungan dua presiden.
Tentu saja, karena dalam sebuah negara yang demokratis, kebijakan pemerintahannya akan berasal dari keputusan yang berlandaskan pilar-pilar demokrasi, serta pemimpinnya pasti akan berganti seiring terjadinya pemilu. Sedangkan bagi pemerintah yang hanya bergantung kepada kekultusan atau pemujaan terhadap satu orang, maka negara itu dipastikan akan keropos dengan sendirinya.
Baca juga: Debat sengit dengan Trump, Presiden Ukraina tinggalkan Gedung Putih
Copyright © ANTARA 2025