Jakarta (ANTARA) - Muhammadiyah menyampaikan pentingnya para tokoh agama menjadi garda terdepan untuk meningkatkan literasi masyarakat terhadap pencegahan tembakau dan terus mengkampanyekan hidup sehat yang bebas asap rokok.
"Literasi itu penting, utamanya tokoh-tokoh agama sebagai garda terdepan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pencegahan tembakau di masjid-masjid dan tempat ibadah. Tokoh agama ini, paling tidak paham tentang literasi pencegahan tembakau, namun sayangnya, selama ini di tempat-tempat ibadah jarang sekali yang membahas tentang rokok," kata Ekonom Muhammadiyah, Mukhaer Pakkanna di ANTARA Heritage Center, Jakarta, Jumat.
Baca juga: Save The Children ingatkan pentingnya edukasi cegah anak merokok
Ia menegaskan kebijakan pengendalian tembakau merupakan strategi penting untuk melindungi masyarakat miskin dan anak-anak dari jerat kecanduan zat adiktif. Namun, implementasinya menghadapi berbagai tantangan, terutama karena adanya intervensi dari industri.
Mukhaer menambahkan Undang-Undang Cukai saat ini masih mempertimbangkan pihak industri dalam setiap kebijakan, termasuk kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT). Padahal, orientasi industri lebih menekankan pada keuntungan ekonomi daripada kesehatan masyarakat, sehingga diperlukan pendekatan struktural yang lebih kuat untuk mengatasi intervensi ini.
"Oleh karena itu, pendekatan kultural melalui edukasi atau literasi sangat penting, salah satu cara yang efektif adalah melibatkan para tokoh agama itu. Tokoh memiliki peran sentral di masyarakat sebagai garda terdepan dalam menyebarkan kesadaran tentang bahaya rokok," ujar dia.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) RI pada tahun 2023 mencatat terdapat 5,98 juta tenaga kerja di industri rokok, 4,28 juta bekerja di manufaktur dan distribusi, sedangkan 1,7 juta bekerja di perkebunan. Tenaga kerja tersebut didominasi buruh perempuan, bahkan di Jawa Timur, 97 persen buruh di Industri Hasil Tembakau (IHT) adalah perempuan.
Baca juga: Adinkes: Menaikkan cukai rokok investasi terbaik untuk kesehatan
Baca juga: Bahaya rokok mentol, yang dianggap lebih berisiko dari rokok biasa
Ia mencontohkan kasus di salah satu pabrik rokok wilayah Surabaya dan Jombang, dimana ditemukan pabrik tersebut lebih banyak mempekerjakan perempuan dibanding laki-laki, dengan alasan buruh laki-laki banyak terlibat di serikat buruh dan kerapkali melakukan aksi mogok kerja, sehingga dianggap dapat menghambat proses produksi.
"Pemerintah menargetkan penerimaan negara sebesar Rp3.147,7 triliun pada 2026, yang sebagian besar ditopang oleh penerimaan pajak, termasuk cukai. Namun, data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan bahwa beban biaya kesehatan yang dikeluarkan negara untuk menanggung penyakit akibat merokok jauh lebih besar daripada penerimaan pajak dan cukai yang didapat dari industri tembakau," tuturnya.
Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.