Titik Temu Sains dan Politik

2 hours ago 4

Jakarta (ANTARA) - Hubungan sains dan politik telah menjadi perdebatan klasik yang direproduksi terus menerus antargenerasi seperti layaknya hubungan agama dengan negara.

Nathan Caplan dari Universitas Michigan, Amerika, pada 1979 pernah mengilustrasikan ilmuwan dan politikus sebagai aktor di dunia sains dan politik dengan teori dua komunitas (two communities theory).

Menurutnya, dalam artikel berjudul "The Two Communities Theory and Knowledge Utilization" yang terbit pada jurnal American Behavioral Scientist, para ilmuwan dan politikus berada dalam dunia yang berbeda. Kedua dunia tersebut memiliki perbedaan nilai, tujuan, alat bantu, konflik, penghargaan, serta bahasa yang berbeda.

Dampaknya, kedua komunitas itu menentukan masalah dan solusi secara berbeda pula sehingga kerap kali setiap pihak penuh prasangka dan percaya diri berlebihan.

Caplan memang melukiskan relasi dunia ilmuwan sosial dan dunia politikus pengambil kebijakan yang kontras. Jarak di antara kedua dunia itu, menurut Caplan, membutuhkan jembatan (bridge) berupa hubungan personal yang penuh kepercayaan (trust), percaya diri (confidence), dan empati (empathy).

Artikel ini akan membahas perspektif penulis pribadi tentang relasi sains dan politik yang lebih filosofis. Pada area mana sains dan politik berbeda ruang?

Sebaliknya, pada titik dan area mana sains dan politik niscaya dapat bertemu dan berjumpa karena memang beririsan sebagai sesama komponen kemajuan bangsa. Ruang inilah yang seyogyanya dipahami oleh ilmuwan dan politikus sebagai para aktornya.

Tentu ilmuwan yang dimaksud di sini dalam arti luas termasuk peneliti dan akademis ilmu alam dan ilmu sosial serta perekayasa yang terlibat pada aktivitas keilmuan, riset, inovasi, dan invensi teknologi.

Demikian pula politikus yang dimaksud bukan hanya politikus partai, tetapi juga para pembuat dan eksekutor kebijakan di setiap level pemerintahan, baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatif.

Sains, secara filosofis seperti yang telah diketahui banyak ilmuwan dan politikus, ditopang oleh tiga pilar kerangka berpikir.

Pertama, ontologi yaitu hakikat sebuah realitas apa adanya yang menjadi objek kajian sains. Kedua, epistemologi yaitu bagaimana cara memperoleh sains termasuk cara memverifikasi sains alias metodologi atau prosedur.

Ketiga, aksiologi yaitu untuk tujuan apa sains tersebut digunakan bagi kepentingan manusia di sebuah wilayah atau bangsa. Pilar aksiologi sering disebut juga fungsi atau nilai sebuah sains termasuk etika di dalamnya.

Ilmuwan yang lahir dan tumbuh dari pengetahuan yang dipelajarinya baik secara formal maupun informal tentu lebih paham dan membutuhkan independensi dalam dua pilar pertama yaitu ontologi dan epistemologi.

Pada dua pilar tersebut, ilmuwan lebih mengerti sehingga keterlibatan politikus justru akan mengacaukan kemerdekaan berpikir tentang hakikat kajian dan metodologi yang dibangun setiap ilmuwan. Dengan kata lain, wilayah ilmuwan dan politikus berbeda pada zona ini sehingga mutlak terpisah.

Namun, pada pilar ketiga yaitu aksiologi, ilmuwan dan politikus memiliki hubungan timbal balik kompleks yang harus diakui bersama.

Pada pilar aksiologi inilah titik temu atau area perjumpaan antara ilmuwan dan politikus yang menjadi kebutuhan bersama.

Gagasan penelitian dan pengembangan nuklir misalnya lahir dari pemikiran ilmuwan dan tentu didukung negara yang dipimpin oleh politikus.

Demikian pula penelitian di bidang kedirgantaraan; meteorologi dan klimatologi; energi; geologi; maupun lahan dan pertanian, hampir dapat dipastikan lahir dari perjumpaan gagasan ilmuwan dengan visi strategis pemimpin politik di level nasional, regional, bahkan global.


Legitimasi politik

Perkembangan sains di sebuah negara membutuhkan arah dengan kerangka kerja jelas yang menjadi peta jalan riset dengan dukungan keputusan politik yang kuat disertai pendanaan, infrastruktur, serta mekanisme penerapan hasil penelitian.

Tanpa legitimasi politik, hasil penelitian seringkali berhenti di meja laboratorium atau hanya menjadi publikasi ilmiah yang dibaca oleh sesama akademisi.

Di dunia pertanian, tempat penulis bekerja, riset dan penerapan regeneratif agrikultur dengan pondasi kesehatan tanah misalnya, membutuhkan dukungan politik yang kuat untuk mewujudkannya.

Sebaliknya, negara dengan para politikus di dalamnya membutuhkan bukti, data, dan rekomendasi ilmiah dari produk sains yang dihasilkan ilmuwan sehingga kebijakan negara berbasis bukti (evidence-based policy).

Dalam era disrupsi informasi seperti sekarang, sains bahkan menjadi benteng terhadap kebijakan yang populis tetapi tidak efektif.

Misalnya ketika menghadapi pandemi, data epidemiologi, model matematika penyebaran penyakit, dan riset vaksin menjadi basis bagi negara untuk mengambil keputusan strategis.

Interaksi sains dan politik juga tidak steril dari konflik. Ada kalanya hasil penelitian menimbulkan kontroversi karena menyentuh kepentingan politik tertentu.

Penemuan terkait perubahan iklim, misalnya, dapat mendorong regulasi yang membatasi industri berbasis fosil, sehingga melibatkan lobi politik yang kompleks.

Oleh karena itu, diperlukan mekanisme komunikasi sains yang efektif agar pesan ilmiah tidak disalahpahami atau dipelintir demi kepentingan sesaat.

Selain itu, hubungan sains dan politik harus menjunjung tinggi etika. Ilmuwan harus berpegang pada integritas ilmiah dan menghindari godaan untuk memanipulasi data demi menyenangkan pihak yang berkuasa.

Di sisi lain, politikus perlu memberi ruang bagi ilmuwan untuk berbicara jujur meskipun hasil penelitian tidak sesuai dengan preferensi politik jangka pendek.

Jika demikian, meskipun ilmuwan dan politikus memiliki dunia yang berbeda, sebetulnya keduanya tidak sepenuhnya terpisah.

Pada area perjumpaan yang tepat, ranah aksiologi, kolaborasi ilmuwan dan politikus dapat menghasilkan kontribusi besar bagi sains, kebijakan publik, dan kemajuan bangsa.

Kuncinya adalah saling memahami peran, menghormati batas, dan membangun komunikasi yang jujur serta transparan.

Dengan demikian, sains dan politik dapat bersinergi, bukan saling mengendalikan, melainkan saling menguatkan demi tercapainya kesejahteraan masyarakat.


*) Penulis adalah Peneliti di Pusat Riset Tanaman Pangan, BRIN.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |