Jakarta (ANTARA) - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyampaikan tandan sawit, campuran tebu, dan sekam padi untuk menjadi tiga opsi bahan baku bioetanol, dengan memperhatikan program ketahanan pangan dalam negeri.
“Kami concern dengan ketahanan pangan, jadi sumber-sumber bioetanol itu kami pilih yang tidak berpotensi tubrukan kepentingan dengan ketahanan pangan,” ujar Kepala Pusat Industri Hijau (PIH) Kementerian Perindustrian Apit Pria Nugraha dalam acara seminar Energy Outlook yang digelar di Jakarta, Kamis.
Apit menyampaikan tanda sawit bisa menjadi bahan baku untuk bioetanol dengan melalui dua tahap proses.
Kemenperin memanfaatkan limbah kelapa sawit khususnya tandan kosong kelapa sawit (TKKS) sebagai bahan baku bioetanol melalui proses ekstraksi glukosa. Upaya itu direalisasikan melalui kerja sama antara Balai Besar Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri Agro (BBSPJIA) dengan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN).
Di samping itu, turut melibatkan kolaborator dari PT Rekayasa Industri dan Institut Teknologi Bandung (ITB), yang merupakan mitra strategis BBSPJIA dalam pengembangan teknologi energi terbarukan.
Adapun yang menjadi permasalahan dalam pengolahan tandan sawit menjadi bioetanol adalah nilai keekonomiannya. Apit menyampaikan terdapat dua pilihan, yakni tandan sawit yang menjadi bahan baku bioetanol dikirim ke central processing, atau mendekatkan tandan sawit ke central processing.
“Kalau saya, mendingan deketin tandan sawitnya supaya nanti kalau sudah jadi bioetanol, nilai tambahnya lebih tinggi. Itu contoh opsinya,” kata Apit.
Selain penggunaan tandan sawit, Apit juga menyampaikan opsi menggunakan campuran tebu atau menggunakan sekam padi untuk menjadi bahan baku dari bioetanol.
“Itu opsi-opsinya yang tidak bertentangan dengan ketahanan pangan. Itu yang kami pilih, memang tidak mudah,” ujar Apit.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memprediksi mandatori bioetanol 10 persen (E10) dapat dilakukan pada tahun 2028 atau lebih cepat. Bioetanol 10 persen adalah campuran bioetanol sebesar 10 persen di dalam bahan bakar minyak (BBM) jenis bensin.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi menyampaikan program mandatori bioetanol bertujuan untuk mengurangi impor bensin yang cukup tinggi.
Data Kementerian ESDM menunjukkan Indonesia masih mengimpor 330 juta barel minyak pada 2024, yang terdiri atas 128 juta barel minyak mentah dan 202 juta barel bahan bakar minyak (BBM). Sedangkan, produksi minyak nasional pada 2024 berada di angka 212 juta barel.
Baca juga: Tak ada stok etanol nasional, Swiss kekurangan bahan baku disinfektan
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































