Surabaya (ANTARA) - Di tengah kesibukan persiapan keberangkatan haji di Asrama Haji Embarkasi Surabaya, seorang perempuan lansia tampak duduk tenang, dengan menggenggam tas kecil, sembari menunggu pengecekan administrasi.
Ia bukan tokoh ternama atau pengusaha besar, melainkan seorang pedagang kelontong dari Kabupaten Kediri yang berhasil mewujudkan mimpinya naik haji lewat cara yang tidak biasa, yakni menabung Rp20 ribu setiap harinya.
Nama salah satu anggota jamaah calon haji itu adalah Sri Dewi Sudarwati. Usianya kini 66 tahun. Ia berasal dari Desa Wates, sebuah daerah yang tak jauh dari pusat Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Kehidupan ekonomi keluarganya sederhana, namun tak menyurutkan keinginannya untuk menunaikan rukun Islam kelima. Bukan lewat bantuan orang lain, bukan pula dari hasil warisan, melainkan dari tabungan kecil yang ia kumpulkan sendiri, hari demi hari, selama bertahun-tahun.
Perjalanan spiritualnya dimulai pada tahun 2009, saat niat berhaji mulai tumbuh dalam hati. Saat itu, ia dan suaminya belum memiliki cukup uang, apalagi anak-anak mereka masih kecil. Namun, niat yang tulus menjadi pijakan awal dalam langkah panjangnya menuju tanah suci.
Berkah kotak kayu
Sebagai seorang yang hidup dengan sederhana dan belum banyak menerima literasi keuangan, Sri mengandalkan kotak kayu untuk menabung keberkahan menuju Makkah.
"Saya ini orang desa, tidak biasa ke bank. Jadi saya simpan uangnya di kotak saja," ucap Sri Dewi sambil tersenyum, saat ditemui ANTARA.
Sejak 2009, ia mulai menyisihkan uang sebesar Rp20 ribu setiap hari dan memasukkannya ke dalam satu kotak kayu di rumah.
Kotak itu menjadi saksi bisu perjuangannya, yang akhirnya membuahkan hasil pada 2012, saat tabungannya mencapai Rp25 juta dan cukup untuk mendaftar haji.
Ia merasa belum perlu menitipkan uangnya ke lembaga keuangan. Baginya, kesederhanaan dalam menabung tidak mengurangi makna dari usahanya.
Meski warung kecilnya hanya menjual kebutuhan pokok warga sekitar, ia tetap menyisihkan uang dari hasil dagangannya dengan disiplin.
Warung itu mulai ia rintis sejak 1995, awalnya di rumah kontrakan. Bermodal niat dan sedikit uang, ia menyediakan kebutuhan harian warga sekitar, dari beras, minyak, hingga jajanan ringan. Dari warung itulah, uang Rp20 ribu setiap hari ia sisihkan, tanpa pernah bolong.
Harapan di Makkah
Sri Dewi mendaftar haji secara mandiri, tanpa suaminya. Suaminya sudah lebih dulu menunaikan ibadah haji, sebelum meninggal dunia. Saat itu, uang yang mereka miliki hanya cukup untuk satu orang, sehingga keduanya sepakat untuk berangkat secara bergantian.
Kini, ia berangkat seorang diri, tanpa didampingi anak-anak maupun cucu-cucunya. Meski demikian, ia tetap merasa tenang. Rasa syukurnya, bahkan semakin besar, karena bisa melanjutkan perjalanan suci yang pernah ditempuh suaminya. Ia pun telah menyiapkan doa-doa khusus untuk keluarganya.
Di Tanah Suci Makkah, dia akan berdoa semoga anak-anaknya dan cucu-cucu juga dapat melaksanakan ibadah haji, atau setidaknya bisa umrah dulu.
Sri Dewi telah berangkat pada Sabtu (3/5), pukul 14.20 WIB bersama rombongan Kloter 5 Embarkasi Surabaya. Di antara ratusan calon haji lain yang kebanyakan didampingi keluarga, Sri tampak sendiri, namun tidak merasa sepi. Baginya, ini adalah perjalanan jiwa, yang selama ini ia jalani dalam diam dan kesabaran.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur Akhmad Sruji Bahtiar menyebut semangat Sri Dewi sebagai hal yang luar biasa dalam upayanya menyempurnakan keislaman melalui ibadah haji.
Kisah Sri Dewi menunjukkan bahwa ibadah haji bukan semata-mata persoalan finansial. Tidak ada jaminan bahwa orang kaya pasti bisa berangkat, sementara mereka yang belum berkecukupan pun tetap memiliki peluang.
Semangat dan kemauan yang kuat menjadi faktor utama, seperti yang ditunjukkan oleh Sri Dewi yang disiplin menabung setiap hari selama bertahun-tahun.
Akhmad Sruji yang juga Ketua Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Embarkasi Surabaya mengimbau jamaah calon haji, khususnya dari kloter awal, untuk menjaga kesehatan selama berada di tanah suci. Suhu udara yang bisa mencapai 48 derajat Celsius membutuhkan perhatian ekstra, termasuk dengan cukup istirahat, banyak minum air, dan mengonsumsi makanan serta buah-buahan yang telah disiapkan oleh pemerintah.
Sri Dewi mungkin tidak meminta sorotan, tidak pernah berniat menjadi contoh. Namun kisah hidupnya telah berbicara lebih lantang dari sekadar kata-kata.
Bahwa ibadah haji tidak hanya milik orang berada, tapi juga hak bagi siapa saja yang berusaha dengan sungguh-sungguh. Sebuah kotak kayu di sudut rumah pun bisa menjadi jalan menuju Baitullah, jika diisi dengan niat tulus dan sabar.
Menginspirasi
Kisah Sri Dewi bisa menjadi inspirasi bagi semua orang bahwa niat tulus akan membuahkan hasil. Ia bukan hanya pedagang kelontong biasa, tapi juga simbol kegigihan dan ketulusan.
Dengan tabungan sedikit demi sedikit, ia bisa menembus daftar panjang calon jamaah haji, suatu hal yang, bahkan mungkin sulit dicapai oleh sebagian orang yang memiliki penghasilan lebih besar.
Sri Dewi tidak berharap sorotan, tidak pernah berniat menjadi contoh, namun kisah hidupnya telah berbicara lebih lantang dari sekadar kata-kata.
Kisah Sri Dewi mengajarkan kepada semua bahwa ibadah haji tidak hanya milik orang berada, tapi juga hak bagi siapa saja yang berusaha dengan sungguh-sungguh dan sebuah kotak kayu di sudut rumah pun bisa menjadi jalan menuju Baitullah, jika diisi dengan niat tulus dan sabar. Tentu akan lebih aman jika menabung itu menyesuaikan dengan perkembangan zaman, yakni menggunakan jasa perbankan.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2025