Natuna (ANTARA) - Dengan iringan musik Melayu, Ketua Komisi II DPR RI asal Riau, Rifqinizamy Karsayuda, bersama Gubernur Kepulauan Riau, Ansar Ahmad, dan Bupati Natuna, Cen Sui Lan, memasuki Gedung Sri Serindit.
Di dalam gedung, tampak ratusan masyarakat Natuna mengenakan pakaian adat. Ada yang memakai baju kurung lengkap dengan kain songket dan tanjak, ada pula yang mengenakan peci, songkok, serta jilbab bagi perempuan.
Sambil tersenyum, sebagian masyarakat menjabat tangan para pemimpin yang mereka harapkan dapat membawa perubahan bagi wilayah perbatasan.
Kedatangan Rifqi dan Ansar ke Natuna pada pekan ketiga April 2025 itu, bukan semata untuk kunjungan kerja atau rekreasi guna melepas penat dari hiruk-pikuk kota besar, melainkan untuk tujuan yang lebih strategis.
Mereka hadir dalam rangka mengikuti diskusi publik mengenai percepatan pembentukan Provinsi Khusus Kepulauan Natuna-Anambas, dalam perspektif integrasi dan kedaulatan bangsa di perbatasan. Kehadiran mereka juga menjadi bukti keseriusan dalam mendorong agar aspirasi masyarakat segera terwujud.
Kabupaten Natuna dan Kabupaten Kepulauan Anambas tengah diperjuangkan untuk disatukan dalam pembentukan provinsi baru, dengan tujuan utama menjaga kedaulatan dan keamanan negara, karena kedua wilayah ini berbatasan langsung dengan China, Malaysia, dan beberapa negara lainnya.
Para tokoh di wilayah ini membentuk Badan Perjuangan Pemekaran Provinsi Khusus Kepulauan Natuna Anambas (BP3K2NA), sebagai wadah untuk bergerak.
Para tokoh masyarakat di Natuna berpendapat Natuna dan Anambas, yang merupakan etalase Indonesia di wilayah utara, wajib diperhatikan dan disejahterakan agar negara tetangga segan dan menghargai keberadaan Indonesia, terlebih di Laut Natuna Utara yang kerap menjadi lokasi operasi kapal ikan asing (KIA) ilegal dan kapal penjaga pantai China.
Natuna-Anambas diyakini lamban mencapai kemakmuran karena kewenangan otonomi yang masih bergantung pada regulasi dari pemerintah provinsi dan pusat, baik dalam perencanaan pembangunan, penganggaran, maupun kebijakan strategis.
Faktor lain yang menyebabkan keterlambatan pembangunan adalah letak geografis Natuna dan Anambas yang jauh dari Ibu Kota Provinsi Kepri (Tanjungpinang) serta minim akses transportasi yang memadai ke Tanjungpinang dan wilayah lainnya, termasuk ke pusat pemerintahan di Jakarta.
Natuna hanya dapat diakses melalui laut dan udara. Jika diukur dalam garis lurus, jaraknya ke ibu kota provinsi, Tanjungpinang, mencapai 700 hingga 800 kilometer.
Perjalanan udara menuju Natuna memakan waktu sekitar 1,5 jam. Harga tiket pesawat, jika beruntung, bisa sekitar Rp1,3 juta, namun bisa juga mencapai Rp2 juta. Penerbangan tersedia satu kali sehari, dan hanya dua kali dalam sepekan (Selasa dan Kamis), namun mulai pekan kedua Mei 2025, penerbangan hanya tersedia satu kali setiap hari.
Sementara itu, jalur laut lebih hemat hanya ratusan ribu rupiah ditambah biaya perbekalan, namun waktu tempuh bisa mencapai satu hari dua malam, dengan jadwal kapal yang tersedia setiap tiga hari sekali, dan risiko menggunakan transportasi ini cukup tinggi, sebab tidak jarang laut Natuna mengamuk dengan mencipta gelombang tinggi mencapai empat hingga enam bahkan sembilan meter.
Dengan menjadi provinsi, Natuna-Anambas diyakini akan lebih cepat berkembang karena rentang kendali dapat diperpendek dan kewenangan bisa lebih optimal dijalankan dari pusat pemerintahan yang lebih dekat secara geografis.
Rekomendasi
Keseriusan para pemimpin di Kepulauan Riau untuk memekarkan kedua daerah ini bukan hanya omong kosong, namun telah dibuktikan dengan rekomendasi tertulis yang dimulai dari Bupati Natuna periode 2021-2025 Wan Siswandi, pada Juli 2023 kepada Badan Perjuangan Pemekaran Provinsi Khusus Kepulauan Natuna Anambas (BP3K2NA).
Gubernur Kepri, Ansar Ahmad, pada awal 2024 juga telah menyetujui dan menandatangani rekomendasi tersebut. Terbaru, rekomendasi ini ditandatangani oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kepri, Imam Setiawan.
Persetujuan dari ketiga tokoh ini didasarkan pada urgensi kedaulatan atau keamanan. Sebab, jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, secara administrasi, Natuna dan Anambas belum memenuhi syarat untuk membentuk daerah otonom baru (DOB), karena jumlah kabupaten hanya dua, sementara yang dibutuhkan minimal lima kabupaten dan kota.
Menurut Gubernur Kepri, Ansar Ahmad, jika dilihat dalam konteks strategi nasional, karena wilayah ini merupakan perbatasan negara, maka pembentukan provinsi baru menjadi sangat penting.
Hal ini juga diungkapkan oleh Bupati Natuna yang saat ini dijabat oleh Cen Sui Lan.

Ketua Komisi II DPR RI asal Riau, Rifqinizamy Karsayuda saat memberikan sambutan pada diskusi publik dengan tema percepatan pembentukan Provinsi Khusus Kepulauan Natuna-Anambas, dalam perspektif integrasi dan kedaulatan bangsa di perbatasan yang ditaja oleh BP3K2NA pada Rabu (23/4/2025) di Gedung Sri Serindit, Kecamatan Bunguran Timur, Kabupaten Natuna. (
ANTARA/Muhamad Nurman
Selain itu, Ketua Komisi II DPR RI, Rifki, juga meyakini urgensi pemekaran wilayah Kepulauan Natuna Anambas, jika dilihat dari sudut pandang menjaga kedaulatan NKRI, memperkuat pertahanan bangsa di kawasan regional ASEAN–Asia, mempercepat kesejahteraan masyarakat, memperpendek jarak antar wilayah, serta pemerataan pembangunan hingga ke pelosok daerah, maka pembentukan Provinsi Natuna Anambas akan lebih mudah didorong pada tingkat nasional.
Menjadikan Natuna dan Anambas sebagai provinsi baru akan mempermudah pengembangan wilayah yang kaya akan sumber daya perikanan, minyak dan gas ini.
Pasalnya, Dana Bagi Hasil (DBH) Migas yang selama ini dialokasikan untuk pembangunan di kabupaten dan kota di Provinsi Kepulauan Riau dapat lebih difokuskan ke daerah-daerah yang berada di bawah naungan Provinsi Kepulauan Natuna Anambas, karena sebagian besar pengeboran minyak dekat dengan daerah ini.
Dengan demikian, Pemerintah Pusat tidak perlu khawatir dalam memekarkan daerah ini, karena mampu mandiri. Terlebih jika Pemerintah Pusat memberikan kewenangan khusus berupa perluasan batas laut melebihi 12 mil laut.
Potensi PAD
Bagi daerah kepulauan seperti Kepri, laut merupakan sumber daya utama yang dapat menunjang peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Lebih dari 90 persen wilayah Kepri berupa laut. Potensi lestari perikanan di wilayah ini diperkirakan mencapai lebih dari 1 juta ton per tahun. Namun, sejauh ini baru sekitar 330 ribu ton yang dimanfaatkan, dan sebagian besar potensi tersebut berada di wilayah Natuna dan Anambas.
Jika potensi ini dimanfaatkan secara optimal, bukan hanya akan membuat provinsi baru ini menjadi mandiri, tetapi juga akan berdampak positif terhadap perekonomian nasional.
Terlebih lagi, di Natuna tepatnya di Pulau Serasan telah dibangun Pos Lintas Batas Negara (PLBN) yang dapat dimanfaatkan sebagai jalur keluar dan masuk komoditas antara Indonesia dan Malaysia, serta berpotensi dikembangkan untuk menjangkau negara lain.
Dengan dukungan politik dari eksekutif, legislatif, dan masyarakat lokal, serta pertimbangan strategis yang menyangkut kedaulatan, ekonomi, dan pemerataan pembangunan, Natuna dan Anambas telah memenuhi syarat substantif untuk menjadi provinsi baru.
Pemerintah pusat tidak perlu ragu karena pemekaran ini bukan semata-mata kehendak lokal dan kehausan jabatan, melainkan bagian dari strategi besar menjaga kedaulatan dan menghidupkan wilayah perbatasan.
Provinsi Kepulauan Natuna Anambas adalah jawaban atas tantangan geopolitik, kesenjangan pembangunan, dan kebutuhan kemandirian daerah.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2025