Setelah BRICS, Indonesia kejar target gabung ke OECD

6 hours ago 2

Jakarta (ANTARA) - Bergabungnya Indonesia ke BRICS, aliansi ekonomi dunia baru, pada awal tahun ini menjadi momentum tersendiri yang meneguhkan citra Indonesia di panggung internasional.

Namun BRICS rupanya bukan satu-satunya target, Indonesia saat ini sedang menempuh jalur untuk bergabung dengan OECD, sebuah organisasi ekonomi yang menaungi negara-negara dengan kebijakan ekonomi dan tata kelola pemerintahan yang mapan.

OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) didirikan pada 1961, bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, memperkuat perdagangan global, serta meningkatkan standar hidup masyarakat di negara anggotanya.

Organisasi ini memiliki 38 negara anggota, termasuk Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara Uni Eropa, yang bersama-sama menetapkan standar kebijakan di berbagai sektor, seperti ekonomi, perpajakan, investasi, tenaga kerja, dan pendidikan.

Keanggotaan dalam OECD sering kali dianggap sebagai "stempel kualitas" bagi suatu negara, karena menunjukkan bahwa negara tersebut telah memenuhi standar tinggi dalam tata kelola ekonomi dan pemerintahan.

Negara yang bergabung dengan OECD diharapkan menjalankan reformasi untuk meningkatkan transparansi, memperkuat sistem hukum, serta menciptakan kebijakan ekonomi yang lebih ramah investasi.

Bergabungnya Indonesia ke dalam OECD akan membawa implikasi besar, baik dari segi daya saing internasional maupun kebijakan domestik.

Langkah ini dipandang sebagai strategi besar untuk mengangkat perekonomian nasional ke tingkat yang lebih kompetitif. Sekaligus sebagai upaya menarik investasi dan keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah atau middle income trap.

Namun, di balik potensi manfaatnya, ada juga tantangan yang perlu dikaji secara kritis. Bergabung dengan OECD dianggap sebagai pintu masuk menuju kelas negara maju.

Standar kebijakan OECD telah terbukti memberikan dampak positif bagi negara-negara yang telah lebih dulu menjadi anggota, seperti Korea Selatan yang berhasil mempercepat industrialisasi dan meningkatkan daya saing ekonomi setelah bergabung pada 1996.

Negara ini mengalami peningkatan Foreign Direct Investment (FDI) yang signifikan dan mampu mempercepat reformasi sektor keuangan dan regulasi bisnis.

Hal yang sama bisa terjadi pada Indonesia jika aksesi ini digunakan sebagai momentum untuk mempercepat reformasi struktural yang selama ini berjalan lambat.


Meningkatnya kredibilitas

Peluang utama dari keanggotaan di OECD adalah meningkatnya kredibilitas Indonesia di mata investor internasional.

Selama ini, banyak perusahaan global masih ragu untuk menanamkan modalnya di Indonesia karena masalah ketidakpastian regulasi, birokrasi yang rumit, dan rendahnya kepastian hukum.

Bergabung dengan OECD akan memaksa Indonesia menyesuaikan kebijakan ekonominya dengan standar global yang lebih transparan dan akuntabel.

Ini akan berdampak langsung pada peningkatan iklim investasi dan masuknya modal asing yang lebih besar, terutama dalam sektor-sektor strategis seperti manufaktur, energi hijau, dan teknologi.

OECD juga menawarkan platform yang dapat memperkuat diplomasi ekonomi Indonesia. Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia sering kali berada di persimpangan kepentingan antara kekuatan ekonomi global seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan China.

Keanggotaan di OECD dapat memperkuat posisi negosiasi Indonesia dalam perjanjian perdagangan internasional dan meningkatkan daya tawarnya dalam menetapkan kebijakan ekonomi global.

Hal ini menjadi semakin relevan mengingat persaingan dagang antara negara-negara besar semakin ketat, dan negara-negara berkembang seperti Indonesia harus memiliki strategi yang lebih kuat dalam merespons dinamika global.

Oleh karena itu, Pemerintah semakin serius menunjukkan komitmennya dalam upaya transformasi menuju negara maju melalui percepatan aksesi menjadi anggota penuh OECD.

Kemenko Perekonomian terus berkoordinasi dengan sejumlah kementerian dan lembaga terkait serta dengan pejabat OECD dan negara-negara anggota OECD guna menata dan menyiapkan Initial Memorandum Indonesia sebagai tahap penting aksesi untuk Pertemuan Dewan OECD Tingkat Menteri.

Untuk mempercepat proses ini, delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Menteri Perekonomian RI Airlangga Hartarto didampingi Duta Besar RI untuk Prancis, merangkap Andora, Monako dan UNESCO, Muhammad Oemar melakukan kunjungan kerja ke Paris, Prancis, pada 3-5 Maret 2025.

Airlangga bertemu dengan Menteri Ekonomi, Keuangan, serta Kedaulatan Industri dan Digital Prancis, Eric Lombard; Sekretaris Jenderal OECD, Mathias Cormann; dan bertemu dengan sejumlah Duta Besar negara-negara OECD. Pertemuan ini disebut Airlangga untuk menunjukkan komitmen dan keseriusan Indonesia dalam tindak lanjut bergabung ke OECD.

"Rangkaian pertemuan ini menunjukkan komitmen dan keseriusan Indonesia dalam transformasi menuju negara maju, menjalankan reformasi struktural secara serius yang dibutuhkan dan sejalan dengan standar OECD," ujar Airlangga.


Reformasi besar-besaran

Aksesi Indonesia ke OECD mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI Mardani Ali Sera juga telah menyampaikan dukungan penuh BKSAP DPR RI terhadap proses bergabung (aksesi) Indonesia ke The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Meskipun memang di balik potensi besar menjadi anggota penuh OECD, ada tantangan serius yang perlu dipertimbangkan. Bergabung dengan OECD bukan sekadar memperoleh status keanggotaan, tetapi juga berarti harus menjalankan reformasi besar-besaran di berbagai sektor.

Salah satu tantangan utama adalah regulasi dan kebijakan ekonomi Indonesia yang masih banyak mengandung distorsi. Banyak kebijakan yang tidak selaras dengan prinsip-prinsip OECD, terutama dalam aspek persaingan usaha, perpajakan, serta kebijakan tenaga kerja.

Misalnya, dalam laporan OECD tentang regulasi pasar tenaga kerja, Indonesia masih memiliki hambatan struktural dalam menciptakan fleksibilitas tenaga kerja yang optimal, terutama terkait sistem pengupahan dan perlindungan tenaga kerja yang sering kali menghambat pertumbuhan sektor formal.

Selain itu, keanggotaan di OECD akan membawa konsekuensi besar dalam hal transparansi fiskal dan reformasi perpajakan.

Indonesia akan dituntut untuk menyesuaikan diri dengan standar OECD dalam sistem perpajakan global, termasuk kebijakan pajak minimum global yang saat ini mulai diterapkan di berbagai negara.

Reformasi ini bisa menjadi tantangan bagi Indonesia yang masih menghadapi tingkat kepatuhan pajak yang rendah serta ketergantungan yang tinggi terhadap pajak tidak langsung seperti PPN dan cukai.

Jika tidak disiapkan dengan baik, tekanan untuk menaikkan standar perpajakan bisa berujung pada beban tambahan bagi sektor usaha kecil dan menengah yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi nasional.

Selain dari sisi ekonomi, aspek sosial dan politik juga harus diperhitungkan. Reformasi yang diperlukan untuk memenuhi standar OECD tidak hanya akan berdampak pada dunia usaha tetapi juga masyarakat secara luas.

Salah satu risiko yang perlu diantisipasi adalah dampak dari kebijakan liberalisasi yang bisa memperlebar kesenjangan sosial.

Studi OECD menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, reformasi ekonomi yang agresif tanpa mitigasi sosial dapat meningkatkan ketimpangan pendapatan dan memperburuk akses kelompok rentan terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.

Jika Indonesia ingin mengadopsi kebijakan ala OECD, maka harus dipastikan bahwa langkah-langkah perlindungan sosial tetap menjadi prioritas utama.


Pelajaran penting

Tidak semua negara yang bergabung dengan OECD langsung merasakan manfaat ekonomi yang signifikan. Beberapa negara, seperti Meksiko dan Chile, mengalami proses adaptasi yang sulit setelah menjadi anggota.

Meski telah mengikuti standar OECD, Meksiko masih berjuang dengan tantangan struktural seperti korupsi, ketimpangan sosial, dan lemahnya institusi hukum.

Ini menjadi pelajaran penting bagi Indonesia bahwa keanggotaan di OECD bukanlah solusi instan untuk permasalahan ekonomi, melainkan sebuah perjalanan panjang yang membutuhkan konsistensi dalam implementasi kebijakan.

Dari perspektif geopolitik, aksesi Indonesia ke OECD juga bisa menimbulkan dinamika baru dalam hubungan internasional.

Indonesia selama ini memainkan peran sebagai kekuatan ekonomi yang relatif independen dan tidak terlalu condong ke blok Barat maupun Timur.

Bergabung dengan OECD, yang sebagian besar anggotanya merupakan negara-negara maju di Eropa dan Amerika Utara, bisa diinterpretasikan sebagai langkah Indonesia untuk semakin mendekat ke arah Barat.

Hal ini bisa berdampak pada hubungan dagang dengan China, yang saat ini merupakan mitra dagang terbesar Indonesia. Jika tidak dikelola dengan baik, bisa muncul ketegangan dalam kebijakan perdagangan Indonesia dengan beberapa negara mitra.

Indonesia perlu belajar dari negara-negara lain yang berhasil menavigasi aksesi ke OECD dengan strategi yang matang. Korea Selatan, misalnya, tidak hanya mengadopsi standar OECD tetapi juga memastikan bahwa reformasi yang dilakukan selaras dengan kondisi domestiknya.

Mereka berhasil mempertahankan kebijakan industri strategis mereka sekaligus meningkatkan keterbukaan ekonomi.

Indonesia harus mengambil pendekatan serupa, di mana reformasi yang dilakukan tetap mempertimbangkan kepentingan nasional dan tidak hanya mengikuti standar OECD secara mentah-mentah.

Pada akhirnya, aksesi Indonesia ke OECD memiliki potensi besar untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kredibilitas investasi, dan memperkuat diplomasi ekonomi.

Namun, ini juga bukan tanpa risiko. Reformasi yang diperlukan harus dipersiapkan dengan matang agar tidak menimbulkan efek samping yang dapat memperburuk ketimpangan sosial atau melemahkan daya saing sektor-sektor tertentu.

Indonesia harus memastikan bahwa aksesi ini bukan sekadar pencapaian diplomatik, melainkan benar-benar menjadi langkah strategis untuk membawa ekonomi nasional ke tingkat yang lebih maju dan berkelanjutan.

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |