Jakarta (ANTARA) - Setiap tahun, ribuan umat Islam dari Indonesia menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Sepulangnya dari ibadah tersebut, tak sedikit dari mereka yang menyandang gelar “Haji” atau “Hajjah” di depan namanya.
Gelar ini bukan semata simbol keberhasilan melaksanakan rukun Islam kelima, tetapi juga sarat makna sejarah, sosial, dan religius, terutama dalam konteks budaya masyarakat Indonesia.
Jejak awal penyematan gelar haji
Penyematan gelar “Haji” di Indonesia dapat ditelusuri sejak masa silam ketika perjalanan ke Tanah Suci bukan perkara mudah. Pada masa itu, jamaah haji harus menempuh perjalanan laut selama berbulan-bulan, menghadapi cuaca ekstrem, ancaman perompak, hingga tantangan berat saat melintasi padang pasir di Arab Saudi.
Ketika jamaah berhasil kembali ke Tanah Air dalam keadaan selamat, masyarakat menganggap mereka telah melalui ujian fisik dan spiritual yang luar biasa. Oleh karena itu, gelar “Haji” menjadi bentuk penghormatan atas keberhasilan menunaikan salah satu ibadah paling berat dan sakral dalam Islam. Gelar ini juga sekaligus menjadi simbol status sosial, karena pada masa lampau tidak semua orang mampu berhaji, baik dari segi biaya maupun waktu.
Tak mengherankan, para ulama, tokoh masyarakat, hingga pejabat yang telah melaksanakan ibadah haji kerap menyematkan gelar tersebut. Narasi perjalanan yang penuh tantangan turut memperkuat citra gelar ini sebagai bentuk prestise dan kebanggaan di tengah masyarakat Muslim Indonesia.
Baca juga: Kenali perbedaan BPIH dan Bipih sebelum berangkat haji
Regulasi ketat pada masa kolonial
Sejarah mencatat bahwa penggunaan gelar “Haji” dan atribut khas haji tidak lepas dari kontrol pemerintah kolonial Belanda. Dalam Staatsblad No. 42 Tahun 1859, pemerintah Hindia Belanda mewajibkan calon jamaah untuk mengajukan izin perjalanan kepada bupati setempat sebelum berangkat ke Mekah. Sepulangnya dari Tanah Suci, mereka juga diwajibkan melapor dan menjalani proses verifikasi untuk memastikan keabsahan ibadah haji yang telah dijalankan.
Proses ini mencakup pengujian yang dilakukan oleh pejabat lokal untuk memastikan bahwa seseorang benar-benar telah menunaikan ibadah haji. Bila lulus, mereka akan mendapatkan sertifikat resmi yang memperbolehkan mereka menyandang gelar “Haji” serta mengenakan pakaian khas haji. Calon jamaah juga harus membuktikan kemampuan finansial, baik untuk perjalanan pulang-pergi maupun untuk keluarga yang ditinggalkan di Tanah Air.
Aturan ini tidak luput dari kritik para intelektual kolonial. Karel Frederick Holle, seorang Adviseur voor Inlandsche Zaken, menolak pelarangan berpakaian haji karena dikhawatirkan memicu keresahan rakyat. Ia menilai pakaian haji tidak seragam dan tidak bisa diseragamkan, apalagi di daerah seperti Tatar Sunda di mana pakaian khas haji kadang justru menyerupai jas Eropa.
Senada dengan Holle, Snouck Hurgronje, orientalis ternama Belanda, juga mengkritik keras kebijakan kolonial tersebut. Ia menganggap penyematan gelar dan penggunaan pakaian haji seharusnya tidak perlu diatur secara ketat. Bahkan, ia mengusulkan agar pemakaian gelar dan pakaian haji dibiarkan bebas agar kehilangan kesakralannya dan tidak lagi dianggap istimewa.
Namun demikian, pemerintah kolonial tetap mempertahankan kebijakan screening tersebut hingga akhirnya dihapus pada tahun 1902, seiring meningkatnya jumlah jamaah haji yang membuat proses verifikasi menjadi tidak praktis lagi.
Baca juga: Sejarah awal mula disyariatkannya Ibadah Haji
Makna religius dan sosial
Gelar “Haji” dan “Hajjah” bukan sekadar gelar simbolik. Dari sisi religius, gelar ini menjadi pengakuan bahwa seseorang telah menyempurnakan rukun Islam kelima melalui ibadah haji. Ibadah ini bukan hanya seremonial, tetapi menuntut kesiapan fisik, mental, dan spiritual, dari ihram hingga tawaf, sa’i, dan wukuf di Arafah.
Dari segi sosial, gelar ini menciptakan bentuk penghormatan dalam struktur masyarakat. Mereka yang menyandang gelar “Haji” atau “Hajjah” kerap dipandang lebih religius, bijak, dan berpengalaman secara spiritual, walaupun tidak ada jaminannya. Penyematan gelar ini juga menjadi sumber motivasi bagi umat Islam lainnya untuk menunaikan ibadah haji, memperkuat semangat keagamaan di tengah masyarakat.
Simbol perjalanan dan identitas
Di Indonesia, gelar “Haji” telah melekat dalam identitas sosial keagamaan masyarakat Muslim. Dari sejarah panjangnya, mulai dari perjuangan berat di masa lalu, pengakuan sosial yang menyertainya, hingga regulasi ketat pada masa kolonial, gelar ini tetap bertahan dan bahkan berkembang menjadi simbol keberhasilan dan kehormatan.
Meski pada masa kini perjalanan haji relatif lebih mudah berkat kemajuan transportasi dan sistem administrasi, nilai dan makna dari gelar ini tetap tidak berubah. Ia mencerminkan ketekunan spiritual, komitmen religius, serta penghargaan sosial yang terus hidup dalam budaya umat Islam Indonesia, demikian mengutip BPKH dan NU.
Baca juga: Presiden Prabowo ingin biaya haji Indonesia lebih murah dari Malaysia
Baca juga: Resmikan Terminal Haji, Prabowo berkomitmen layani 2,2 juta jamaah
Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025