Samboja manfaatkan energi terbarukan dari kandang sapi

5 days ago 8

Samarinda (ANTARA) - Kobaran api biru yang dinyalakan Rosipul menjilat alas teko aluminium nyaris tanpa menghasilkan jelaga.

Setelah air dalam teko mendidih, ia menuangkan ke empat buah cangkir sembari mengaduk kopi. Asap tipis mengepul, menyuguhkan aroma kopi hitam yang pekat, menyambut para tamu yang bertandang pagi itu.

"Silakan, mas, kopinya," ujar .Rosipul Akli, Ketua Kelompok Ternak Tirto Sari Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Ada sesuatu yang unik namun mengagumkan dari pemandangan pagi itu. Kompor yang digunakan Akli menyala stabil dengan api biru sempurna, persis seperti kompor dari sumber LPG.

Namun, tak ada tabung gas biru atau hijau melon di sekitarnya. Yang ada hanyalah selang kecil yang menjulur dari balik dinding papan, terhubung ke sebuah instalasi tak jauh dari kandang sapi komunal.

Api itu, ternyata, bukan berasal dari fosil yang ditambang dari perut bumi. Ia lahir dari proses yang lebih organik: dari sisa pencernaan puluhan sapi yang dipelihara kelompoknya.

Itulah biogas, sebuah jawaban sederhana dari komunitas peternak di Kelurahan Wonotirto, Kecamatan Samboja, di tengah riuh isu krisis energi dan mahalnya harga LPG.

Bagi Akli dan rekan-rekannya, transisi energi terbarukan bukan wacana seminar atau tajuk berita di koran ibu kota. Ia adalah realitas sehari-hari kampung berasal kotoran sapi, berwujud api biru di dapur, dan berbuah pupuk subur untuk tanaman.

Berbagi energi

Cerita ini bermula jauh sebelum api biru itu menyala. Kelompok Ternak Tirto Sari berdiri pada 2014, sebuah ikhtiar kolektif para peternak lokal untuk saling menopang.

Seiring berjalannya waktu, satu masalah klasik muncul: kotoran sapi atau kohe (kotoran hewan).

Dengan populasi sapi yang terus bertambah--kini mencapai 42 ekor dan bakal ditambah 50 ekor lagi untuk penggemukan--limbah yang dihasilkan menjadi gunungan persoalan.

"Dulu ya hanya menumpuk saja guna menunggu jadi pupuk kering, sehingga jadi masalah bau dan lingkungan," kata Akli mengenang

Titik baliknya datang pada 2020. Melalui program dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kelompok mereka menerima bantuan 11 unit reaktor biogas.

Reaktor ini, sederhananya, seperti "perut buatan" berkapasitas empat meter kubik yang mencerna kotoran sapi dan mengubahnya menjadi gas metana (CH₄) untuk bahan bakar.

"Awalnya kami dapat 11 unit untuk kelompok Tirto Sari. Tapi kami berpikir, manfaat ini jangan berhenti di kami saja," kata Akli.

Prinsip berbagi menjadi napas gerakan mereka. Alih-alih menempatkan semua reaktor di satu lokasi, Akli dan kawan-kawan menyebarkannya.

Rosipul Akli, Ketua Kelompok Ternak Tirto Sari Samboja memasukkan kotoran sapi ke sebuah alat reaktor berkapasitas empat kubik untuk diolah menjadi biogas. ANTARA/Ahmad Rifandi.

Syaratnya sederhana, warga penerima harus memiliki minimal tiga sapi untuk memastikan pasokan bahan bakar kotoran tetap berkelanjutan.

Langkah ini mengubah tumpukan kotoran yang semula menjadi masalah komunal menjadi solusi rumah tangga.

"Sangat terbantu. Warga merasa sangat terbantu," kata Akli.

Satu unit reaktor berkapasitas empat kubik itu bahkan bisa dimodifikasi. Dengan sistem paralel menggunakan selang tambahan, satu reaktor bisa melayani kebutuhan memasak untuk tiga hingga empat rumah tangga.

Di saat banyak orang pusing karena kelangkaan atau kenaikan harga LPG, warga binaan Kelompok Tirto Sari tinggal melangkah ke belakang rumah, mengaduk kotoran sapi dengan air, dan memasukkannya ke dalam reaktor.

"Kami di sini enggak pernah bingung soal LPG," kata Akli sambil tersenyum.

Manfaat biogas tak berhenti di dapur. Ia menciptakan sebuah lingkaran ekonomi dan ekologi.

Proses dekomposisi anaerobik di dalam reaktor biogas menghasilkan dua produk sampingan yang tak kalah berharga: pupuk organik cair (POC) dan ampas padat (slurry) yang menjadi pupuk berkualitas mumpuni.

"POC-nya kami implementasikan langsung di tanaman cabai di sekitar sini. Hasilnya bagus," tutur Akli sambil menunjuk kebun kecil di dekat kandang.

Limbah cair yang keluar dari reaktor dialirkan untuk menyirami tanah sekitar tanaman.

Bahkan, kesuburannya sudah terbukti pada tanaman jambu air milik salah satu anggota kelompok ternak. "Sudah tidak pakai pupuk kimia lagi. Setiap hari disiram pakai itu [POC]. Jambunya jadi berbuah terus, tidak kenal musim," kata dia menambahkan.

Sementara itu, ampas padatnya yang sudah tidak berbau dikeringkan. Inilah yang mereka sebut kohe kering. Meskipun Akli mengakui pengolahannya belum maksimal karena keterbatasan alat, kohe kering ini sudah menjadi primadona bagi lingkungan sekitar.

Para pegiat tanaman obat keluarga (Toga) atau ibu-ibu yang hobi berkebun sering datang untuk mengambilnya.

"Kalau mau ambil sendiri, saya kasih gratis. Tapi kalau minta diantarkan, ya ada ongkosnya sedikit," kata dia berseloroh.

Dari perut sapi, lahir energi untuk memasak. Dari sisa energi itu, lahir pupuk untuk menyuburkan tanah. Dari tanah yang subur, lahir pangan. Sebuah siklus mandiri yang berjalan senyap di sudut Samboja.

Inisiatif ini tak luput dari perhatian pemerintah daerah. Program mereka terintegrasi dengan Pengembangan Desa Koperasi Ternak (PDKT) dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kaltim.

Puncaknya, pada 2024, Koperasi Tirto Agro Nusantara--hasil gabungan dua kelompok ternak termasuk Tirto Sari--berhasil menyabet juara pertama lomba PDKT se-Kalimantan Timur. Penghargaan diserahkan oleh Wakil Gubernur Kaltim Seno Aji.

Inilah buah dari program transisi energi yang digulirkan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim. Sejak 2012 hingga 2024, sebanyak 575 unit reaktor biogas skala rumah tangga telah berhasil dibangun, mengubah limbah ternak menjadi sumber energi bersih yang berharga.

"Pengembangan biogas ini telah berlangsung sejak tahun 2012," ungkap Elly Luchritia Nova, Kepala Bidang Energi Baru Terbarukan (EBT) dan Konservasi Energi Dinas ESDM Kaltim.

Program ini hasil kolaborasi dengan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, menyasar langsung ke jantung kebutuhan masyarakat. Setiap rumah tangga yang berpartisipasi tidak hanya mendapatkan instalasi biogas, tetapi juga kompor dan alat penanak nasi khusus.

Syaratnya pun sederhana. Cukup dengan memiliki minimal tiga ekor sapi, sebuah keluarga dapat menghasilkan gas metana yang cukup untuk kebutuhan memasak sehari-hari.

"Selama sapi masih ada, gas terus tersedia. Ini sangat membantu bagi mereka," kata Elly. Efisiensinya bahkan disebut melebihi penggunaan LPG.

Namun, manfaatnya tak berhenti di penggantian gas. Program ini menciptakan sebuah sistem ekonomi sirkular di tingkat kampung.

Limbah akhir dari proses biogas, atau slurry, merupakan produk sampingan yang sangat bernilai: pupuk organik cair dan padat. Hal ini menciptakan siklus terintegrasi yang mendukung swasembada pangan sekaligus energi.

Keberhasilan optimalisasi biogas datang dari petani di Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, serta Long Kali dan Long Ikis, Kabupaten Paser.

"Mereka mengaku mengalami penghematan ganda. Selain tidak perlu lagi membeli LPG, sisa limbah biogas langsung dimanfaatkan untuk pupuk, sehingga mereka tak perlu membeli pupuk kimia untuk perkebunan," tutur Elly.

Kini, program yang telah tersebar di enam kabupaten/kota ini bersiap untuk naik kelas. Dinas ESDM Kaltim merencanakan pengembangan biogas skala besar yang terpusat di 30 lokasi Pengembangan Desa Korporasi Ternak (PDKT).

Gas yang dihasilkan nantinya disalurkan melalui jaringan perpipaan atau kantong gas portabel ke rumah-rumah sekitar.

Meskipun ada tantangan, seperti keberlanjutan pasokan kotoran jika ternak dijual, program ini telah terbukti sebagai solusi konkret.

Harapan kemandirian

Tentu saja, jalan para kelompok ternak tidak selamanya mulus. Perawatan menjadi kunci. Salah satu kelemahan kompor biogas adalah materialnya yang rentan korosi jika tidak rajin dibersihkan setelah memasak.

Rosipul Akli, Ketua Kelompok Ternak Tirto Sari Samboja memperlihatkan tanaman lombok sebagai contoh pemanfaatan pupuk organik cair (POC) dan ampas padat (slurry) dari hasil buangan reaktor biogas. ANTARA/Ahmad Rifandi.

"Kuncinya kembali ke kita lagi, soal perawatannya," ujar Ketua Kelompok Ternak Tirto Sari, Akli.

Produksi gas juga dipengaruhi cuaca. Saat cuaca panas, fermentasi berjalan optimal dan produksi gas melimpah. Sebaliknya, jika cuaca mendung atau hujan berhari-hari, produksi gas sedikit menurun.

Namun, tantangan itu tidak menyurutkan langkah mereka. Justru, keberhasilan 11 unit reaktor skala rumah tangga ini memompa semangat mereka untuk bermimpi lebih besar.

Kini, di salah satu sudut lahan kelompok, sebuah proyek lebih besar tengah disiapkan. Sebuah reaktor biogas raksasa berkapasitas 17 meter kubik. Jika reaktor empat kubik bisa menghidupi 3-4 dapur, reaktor ini dirancang untuk tujuan yang jauh lebih besar.

"Yang 17 kubik ini nanti disiapkan bukan cuma untuk api kompor, tapi juga untuk membangkitkan listrik," ungkap Akli.

Energi dari reaktor jumbo ini dialirkan untuk memenuhi kebutuhan gas 21 rumah dan menjadi sumber listrik untuk penerangan di sekitar kandang dan fasilitas kelompok. Dari sekadar kemandirian dapur, mereka kini melompat menuju kemandirian energi komunal.

Mereka membuktikan bahwa energi terbarukan bukanlah konsep yang utopis. Ia bisa dimulai dari hal paling membumi: kotoran ternak.

Kobaran biru yang menyala di bawah ceret kopi pagi itu lebih dari sekadar api untuk memasak. Itu adalah lambang kemandirian, bukti kemauan kolektif, dan kobaran harapan bahwa transisi menuju energi bersih tak harus menunggu kebijakan berskala raksasa.

Terkadang, ia hanya perlu dimulai dari kandang sapi di belakang rumah.

Baca juga: Wamen Pertanian apresiasi pengelolaan limbah sapi ramah lingkungan

Baca juga: Jaktim bangun "septic tank" komunal penghasil biogas di tiga kelurahan

Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |