Jakarta (ANTARA) - Head of Research & Chief Economist Mirae Asset Rully Arya Wisnubroto menganggap pelemahan nilai tukar (kurs) rupiah dipengaruhi berkurangnya ekspektasi pemotongan suku bunga oleh Federal Reserve (The Fed).
“Memang berkurang ekspektasi penurunan suku bunga secara agresif,” ujarnya kepada ANTARA di Jakarta, Jumat.
Xinhua melaporkan bahwa The Fed mempertahankan suku bunga acuan dalam kisaran 4,25-4,5 persen seiring meluasnya kekhawatiran atas tarif yang diberlakukan terhadap mitra dagang utama Amerika Serikat (AS).
Hal ini berarti Bank Sentral AS tersebut telah mempertahankan suku bunga sejak pertemuan pada Januari dan Maret tahun ini.
Baca juga: Rupiah pada Jumat pagi melemah jadi Rp16.549 per dolar AS
Gubernur The Fed Jerome Powel menyampaikan bahwa pihaknya sedang wait and see untuk menilai dampak dari kebijakan tarif AS yang dinilai sangat tidak pasti.
Apabila kenaikan besar tarif yang telah diumumkan akan dilanjutkan, ucap Powell, maka akan menghasilkan kenaikan inflasi, perlambatan pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan pengangguran.
Menurut CME FedWatch tool, terdapat potensi 80 persen The Fed akan terus mempertahankan suku bunga pada pertemuan pada 18 Juni 2025.
Di sisi lain, Rully menilai kurs rupiah bergerak cukup stabil sepanjang bulan Mei ini karena dipengaruhi sentimen global, yakni kekhawatiran akan eskalasi perang dagang yang sedikit mereda.
Baca juga: Rupiah menguat karena optimisme pasar terhadap perekonomian RI
“Sebagian besar mata uang global sudah menguat sejak bulan April terhadap dolar, tapi kemungkinan hal ini bisa bersifat sementara karena tantangan ke depan masih sangat tinggi,” kata dia.
Nilai tukar rupiah pada pembukaan perdagangan hari Jumat pagi di Jakarta melemah sebesar 47 poin atau 28 persen menjadi Rp16.549 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.502 per dolar AS.
Baca juga: Analis: Sentimen positif berkembang di pasar kripto usai rapat The Fed
Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Abdul Hakim Muhiddin
Copyright © ANTARA 2025