Royalti musik dan keadilan ekonomi kreatif di Indonesia

1 month ago 5

Jakarta (ANTARA) - Denting gitar dari lagu lawas mengalun lembut, menyelip di antara aroma kopi panas dan obrolan para pelanggan sebuah kafe kecil di sudut ibu kota.

Pemilik kafe, yang sejak pagi sibuk menyiapkan bahan baku, tahu benar bahwa musik adalah nyawa tempat usahanya yang membuat tamu betah, mengundang kenangan, dan mengikat suasana.

Namun, di balik tiap nada yang mengalir, faktanya ada jerih payah pencipta lagu yang mungkin sedang duduk jauh di sudut negeri, menunggu haknya dibayar.

Hak itu tidak datang begitu saja, melainkan melalui mekanisme royalti yang kini menjadi perhatian serius banyak pihak.

Ketika Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) memperketat aturan pengumpulan dan pendistribusian royalti, diskusi pun bergeser dari sekadar selera musik menjadi persoalan keadilan, keterbukaan, dan keseimbangan kepentingan antara pencipta lagu, pelaku usaha, dan konsumen.

Di sinilah cerita musik, uang, dan keadilan berpadu dalam satu panggung yang sama, dengan semua mata menunggu, apakah nada ini akan mengalun merdu atau justru sumbang. Inilah titik di mana transparansi dan keseimbangan menjadi penting, karena perlindungan hak cipta tidak boleh berjalan dengan mengorbankan keadilan bagi pelaku usaha dan konsumen.

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI menyoroti kebijakan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) terkait pengumpulan dan pendistribusian royalti lagu.

Ketua BPKN RI, Mufti Mubarok, menegaskan bahwa mekanisme ini harus diatur dengan transparan dan akuntabel, tidak hanya demi memastikan pencipta lagu mendapatkan haknya secara utuh, tetapi juga agar pelaku usaha, terutama UMKM, tidak terbebani secara berlebihan.

Royalti, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, adalah hak ekonomi yang sah. Namun, tanpa kejelasan tarif, objek pungutan, dan tata cara pembayaran, hak tersebut justru berpotensi menjadi sumber kebingungan dan sengketa.

Kebijakan LMKN yang baru ini menuai perhatian karena mulai diberlakukan secara ketat di berbagai sektor, seperti kafe, restoran, hotel, transportasi umum, hingga penyelenggara acara.

Di satu sisi, para pencipta lagu menyambut harapan bahwa pendistribusian royalti akan berjalan lebih adil. Mereka ingin memastikan setiap putaran lagu yang menghidupkan suasana kafe, hotel, atau acara publik, benar-benar memberikan manfaat langsung kepada sang pencipta.

Di sisi lain, pelaku usaha, khususnya skala kecil dan menengah, mengeluhkan adanya beban biaya tambahan yang datang tanpa pemahaman memadai tentang dasar penetapan tarif atau mekanisme pembayarannya.

Kondisi ini menuntut kebijakan yang tidak hanya adil di atas kertas, tetapi juga dapat diimplementasikan dengan mudah di lapangan.

BPKN memberikan sejumlah rekomendasi yang bertujuan membangun jembatan antara kepentingan pencipta lagu dan pelaku usaha. Hal yang menjadi concern di antaranya, LMKN perlu membuka akses informasi seluas-luasnya tentang besaran tarif royalti dan dasar penetapannya.

Keterbukaan ini bukan hanya soal angka, tetapi tentang memberi ruang bagi publik untuk memahami logika di balik kebijakan tersebut.

Kemudian, sistem distribusi digital harus dioptimalkan agar royalti diterima langsung oleh pencipta lagu, tanpa potongan yang merugikan dan tanpa birokrasi berlapis.

Selanjutnya, sosialisasi perlu dilakukan secara masif dan jelas, sehingga pelaku usaha, terutama yang berada jauh dari pusat informasi, tidak merasa kebijakan ini datang tiba-tiba.

Keseimbangan hak

Pengaturan royalti sebenarnya adalah soal keseimbangan antara hak dan kewajiban. Hak pencipta untuk mendapatkan penghargaan atas karyanya harus berjalan beriringan dengan kemampuan pelaku usaha untuk membayar tanpa merasa tertekan. Keduanya sama-sama penting bagi ekosistem musik nasional.

Jika kebijakan terlalu berat di satu sisi, keseimbangan akan terganggu, industri musik bisa kehilangan dukungan dari pelaku usaha, atau pelaku usaha terpaksa mengurangi penggunaan musik, yang pada akhirnya juga merugikan pencipta.

Kepekaan terhadap keragaman skala usaha menjadi kunci. Kafe kecil di sudut ibu kota tentu tidak bisa diperlakukan serupa dengan jaringan hotel internasional dalam hal kemampuan membayar royalti.

Di sinilah pentingnya kebijakan berbasis proporsionalitas, yang mempertimbangkan ukuran usaha, intensitas penggunaan musik, dan kemampuan ekonomi.

Prinsip ini sejalan dengan perlindungan konsumen yang selalu menempatkan keadilan dan keberlanjutan sebagai tujuan akhir.

Transparansi bukan hanya urusan administrasi, melainkan bentuk penghormatan terhadap semua pihak.

Ketika tarif jelas, alasan penetapannya dapat dipahami, dan aliran dana dari pengguna musik hingga pencipta lagu dapat dilacak, kepercayaan publik akan tumbuh.

Kepercayaan ini adalah modal sosial yang sangat dibutuhkan, terutama dalam kebijakan yang melibatkan lintas kepentingan.

Sosialisasi yang efektif akan membantu mengurangi resistensi. Tidak semua pelaku usaha memahami bahwa membayar royalti adalah bentuk kontribusi terhadap keberlanjutan seni dan budaya.

Dengan edukasi yang tepat, pembayaran royalti bisa dilihat sebagai investasi dalam menjaga keberagaman karya musik, bukan sekadar kewajiban yang membebani.

Proses ini menuntut kesabaran, komunikasi yang membumi, dan kesiapan untuk menjawab pertanyaan serta kekhawatiran yang muncul di lapangan.

Di sisi lain, pencipta lagu juga perlu merasakan manfaat nyata dari sistem yang ada. Distribusi royalti yang tepat waktu dan utuh akan menguatkan semangat mereka untuk terus berkarya.

Industri kreatif tumbuh bukan hanya dari talenta, tetapi juga dari keyakinan bahwa karya akan dihargai secara layak. Ketika pencipta lagu merasakan keadilan, mereka akan lebih termotivasi untuk menghasilkan karya yang memperkaya khazanah musik nasional.

Mufti Mubarok menegaskan bahwa BPKN berkomitmen untuk memantau pelaksanaan kebijakan LMKN, termasuk menerima aduan dari masyarakat yang merasa dirugikan.

Peran pengawasan ini penting untuk memastikan kebijakan tidak berhenti pada konsep, tetapi benar-benar berjalan di lapangan sesuai prinsip perlindungan konsumen dan keberlanjutan industri musik.

Dengan keterlibatan aktif semua pihak termasuk pemerintah, lembaga manajemen kolektif, pelaku usaha, dan pencipta lagu diharapkan tercipta mekanisme yang adil, transparan, dan menguntungkan semua pihak.

Musik akan selalu menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, mengiringi perayaan, mengisi keheningan, dan menyatukan orang-orang dari latar belakang yang berbeda.

Menjaga agar para pencipta lagu mendapatkan haknya tanpa menekan pelaku usaha adalah bentuk tanggung jawab bersama.

Kebijakan royalti yang transparan dan proporsional bukan hanya soal angka dan aturan, tetapi juga soal menjaga denyut kreatif bangsa.

Dalam ekosistem yang sehat, nada dan harmoni tak hanya terdengar di panggung, tetapi juga terasa dalam keadilan yang dijalankan di setiap lini.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |