Kabupaten Bogor (ANTARA) - Setiap pukul 10 pagi, suasana Kabupaten Bogor sejenak berhenti. Di tengah kesibukan kantor pemerintahan, hiruk-pikuk rumah sakit, hingga aktivitas legislatif di gedung DPRD, terdengar lagu kebangsaan Indonesia Raya menggema melalui pengeras suara. Setelahnya, naskah Pancasila dibacakan dengan penuh khidmat.
Ini bukan sekadar rutinitas administratif, melainkan ritus harian yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari wajah birokrasi Bogor.
Bupati Bogor Rudy Susmanto menetapkan pemutaran lagu kebangsaan dan pembacaan Naskah Pancasila setiap hari pada pukul 10.00 WIB. Melalui Surat Edaran Nomor: 200.1.2.3/735-Bakesbangpol, langkah ini menjadi tindak lanjut dari imbauan Sekretariat Negara guna memperkuat semangat kebangsaan di level lokal. Imbauan tersebut diartikulasikan dalam bentuk tindakan nyata, terukur, dan menyeluruh.
Pemutaran lagu dan pembacaan Pancasila dilakukan secara serempak di berbagai instansi pemerintah, sekolah, hingga badan usaha swasta. Sebelum lagu dikumandangkan, seluruh aktivitas dihentikan selama dua puluh detik. Seluruh pegawai, pengunjung, dan masyarakat yang berada di lingkungan kantor pemerintahan diminta berdiri tegak dalam sikap sempurna, sebagai bentuk penghormatan terhadap simbol negara.
Instruksi ini pun menyentuh sektor pendidikan. Seluruh sekolah di bawah kewenangan Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama Kabupaten Bogor diminta menerapkan kebijakan yang sama. Kepala desa dan camat dilibatkan sebagai pengawas di wilayah masing-masing. Dengan struktur sosial yang bergerak secara simultan, ritual ini secara perlahan membentuk budaya baru yang sarat makna.
Bagi pemerintah Kabupaten Bogor, nasionalisme bukan sekadar narasi seremonial yang diucapkan saat upacara besar kenegaraan. Ia harus ditanamkan dalam kesadaran masyarakat, diulang setiap hari, dan dijalani bersama. Melalui kebijakan ini, semangat cinta tanah air dibentuk melalui kebiasaan kolektif, bukan sekadar retorika.
Dimulai dari Pendopo
Gagasan besar ini bermula dari tempat yang sederhana namun sarat simbol: Pendopo Bupati Bogor di Cibinong. Di sinilah Bupati Bogor Rudy Susmanto pertama kali menanamkan praktik kebangsaan ke dalam kehidupan sehari-hari birokrasi pemerintahan. Ia menjadikan rumah dinas bukan sekadar tempat tinggal atau kantor formal, melainkan ruang edukasi sejarah dan kebangsaan.

Langkah pertama dimulai dengan penamaan ruangan-ruangan di dalam pendopo. Ruang tamu utama dinamai Ruang Soekarno-Hatta, sebagai tempat penerimaan tamu-tamu negara maupun masyarakat. Ruang rapat diberi nama Dayang Sumbi, melambangkan kearifan lokal dan nilai-nilai budaya. Aula untuk kegiatan kebudayaan diberi nama Ki Hajar Dewantara, merepresentasikan dunia pendidikan dan pemikiran progresif. Untuk kegiatan keagamaan seperti pengajian, disediakan Gedung Jenderal Soedirman, tokoh militer sekaligus simbol keteguhan spiritual dalam perjuangan kemerdekaan.
Semua penamaan itu tidak dilakukan sembarangan. Ia dirancang sebagai sarana pendidikan tak langsung bagi setiap tamu dan pegawai yang beraktivitas di pendopo. Melalui nama-nama tokoh dan ruangan, Rudy berharap para ASN dan masyarakat bisa meresapi nilai perjuangan, pengorbanan, dan kepemimpinan yang diteladankan para tokoh bangsa.
Di dalam pendopo, dinding-dinding ruangan dihiasi dengan foto-foto para pendiri bangsa. Wajah Soeharto, Sutan Sjahrir, Pangeran Diponegoro, Gubernur Soerjo, Malahayati, Fatmawati, dan Cut Nyak Dien terpasang berdampingan, seolah menjadi pengawas abadi setiap aktivitas birokrasi. Galeri itu bukan sekadar dekorasi, tetapi pengingat akan perjalanan panjang bangsa dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan.
Salah satu titik paling ikonik di pendopo adalah panel khusus yang menampilkan potret Letnan Satu Soebianto Djojohadikusumo, pahlawan muda yang gugur dalam peristiwa Lengkong pada 1946. Dalam usia 21 tahun, Soebianto menjadi saksi sekaligus pelaku sejarah penting seperti Rapat Raksasa IKADA pada 19 September 1945. Namun perannya sering luput dari pelajaran sejarah nasional.
Tak jauh dari lukisan bergambar Soebianto, terpampang sebuah "Sajak Soebianto". Sajak tersebut berbunyi:
"Kita tidak sendirian, beribu-ribu orang bergantung kepada kita. Rakyat yang tak pernah kita kenal, rakyat yang mungkin tak akan pernah kita kenal. Tetapi apa yang kita lakukan sekarang, akan menentukan apa yang terjadi kepada mereka."
Sajak ini menjadi penanda spiritualitas perjuangan yang ingin diwariskan Rudy melalui narasi visual. Sebagai mantan ajudan Presiden Prabowo Subianto — yang juga merupakan keponakan dari Soebianto Djojohadikusumo — Rudy memiliki ikatan personal dengan narasi sejarah tersebut.
Namun lebih dari itu, ia ingin menjadikan kisah Lettu Soebianto sebagai inspirasi bagi seluruh birokrasi dan generasi muda Kabupaten Bogor.
Memperluas nasionalisme
Langkah-langkah ini tidak berhenti di pendopo. Rudy meluaskan gagasan edukasi kebangsaan ke seluruh wilayah Kabupaten Bogor. Ia mengganti nama sejumlah jalan dan fasilitas publik dengan nama-nama pahlawan nasional. Di kawasan Puncak, nama RE Martadinata menggantikan papan nama lama. Di sekitar Stadion Pakansari, jalan kini dinamai Jenderal Sudirman. Sementara ruas jalan dari Kandang Roda ke Tugu Pancakarsa diberi nama Soekarno Hatta.

RSUD pun tak luput dari transformasi simbolik ini. RSUD Cibinong kini dikenal sebagai RSUD Bakti Pajajaran, RSUD Ciawi menjadi RSUD KH Idham Chalid, RSUD Leuwiliang menjadi RSUD R. Moh. Noh Nur, dan RSUD Cileungsi menjadi RSUD RH. Satibi. Semua nama ini bukan dipilih sembarangan, melainkan mewakili kontribusi sejarah dan nilai perjuangan tokoh-tokoh tersebut.
Bagi Rudy, langkah ini adalah bentuk edukasi publik yang menyatu dalam ruang hidup masyarakat. Jalan yang mereka lewati, rumah sakit yang mereka datangi, kantor yang mereka tempati — semuanya adalah ruang pembelajaran nilai-nilai bangsa. Ia menolak pendekatan nasionalisme yang hanya hadir di atas panggung seremoni atau wacana kampus. Ia ingin menjadikannya bagian dari pola pikir dan kebiasaan warga.
Nasionalisme, dalam pandangan Rudy, tidak harus dibangun lewat monumen besar atau narasi elitis. Ia bisa dimulai dari hal paling sederhana: mendengarkan lagu kebangsaan di sela rutinitas pagi, membaca Pancasila sebelum rapat dimulai, atau berdiri hormat di tengah pasar saat sirene berbunyi. Kebiasaan-kebiasaan kecil ini, jika dilakukan dengan konsisten dan ikhlas, akan menumbuhkan akar nasionalisme yang kuat.
Pendekatan ini sekaligus menjadi bentuk perlawanan terhadap erosi memori sejarah. Di tengah banjir informasi, polarisasi politik, dan konsumsi digital yang kian masif, generasi muda sering kali kehilangan orientasi sejarah. Rudy mencoba menambatkan kembali jangkar identitas itu ke tanah yang kokoh: sejarah perjuangan, nilai-nilai kebangsaan, dan pengorbanan para pendahulu.
Dengan menjadikan simbol-simbol nasional sebagai bagian dari ruang dan waktu keseharian, Rudy mengajarkan bahwa nasionalisme bukan milik pemerintah, partai politik, atau segelintir elite. Ia adalah milik setiap warga. Dan tugas pemimpin bukan hanya membangun infrastruktur fisik, tetapi juga infrastruktur moral dan kultural yang menopang eksistensi bangsa.
Ketika gema lagu Indonesia Raya berkumandang setiap pukul 10 pagi di Kabupaten Bogor, ia membawa lebih dari sekadar nada patriotik. Ia membawa pesan, bahwa di tengah arus zaman yang cepat berubah, ada nilai-nilai yang harus terus dijaga. Dan tugas itu dimulai, setiap pagi, dari ruang-ruang yang mungkin tampak biasa, tapi di tangan pemimpin yang paham sejarah, bisa menjadi medan pendidikan kebangsaan yang luar biasa.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.