Sosiolog ingatkan pentingnya jaga narasi pada konten isu sensitif 

2 hours ago 2

Jakarta (ANTARA) - Pengamat sosial dari Universitas Gadjah Mada (UGM) R. Derajad Sulistyo Widhyharto, S.Sos., M.Si mengingatkan pentingnya menjaga empati melalui narasi terlebih jika konten yang ingin dibagikan menyangkut isu sensitif seperti kasus kriminal atau peristiwa yang melibatkan korban jiwa.

“Dalam dunia digital saat ini, kecepatan menyebarkan informasi sering kali mengalahkan kepekaan terhadap manusia di balik peristiwa itu. Padahal, konten yang baik bukan hanya informatif, tetapi juga berperasaan. Ketika kita membahas isu-isu sensitif seperti kasus kriminal atau peristiwa yang melibatkan korban jiwa, ada tanggung jawab moral yang harus dijaga, bagaimana menyampaikan fakta tanpa melukai rasa kemanusiaan,” kata Derajad kenapa ANTARA dalam keterangan tertulisnya, Jumat.

Ia mengatakan pembuat konten dengan tema kriminalitas atau membahas kasus yang melibatkan nyawa seseorang, narasi yang dibentuk harus menempatkan “korban” sebagai manusia, bukan sekadar objek berita atau sumber sensasi.

Ia menyarankan untuk menghindari menampilkan gambar atau rekaman yang mempermalukan, memperlihatkan tubuh korban, atau mengeksploitasi kesedihan keluarga, dan fokus pada edukasi misalnya pentingnya keselamatan dan keadilan.

“Berfokuslah pada pesan edukatif, misalnya tentang pentingnya keselamatan, keadilan, atau solidaritas sosial, sehingga publik mendapat pelajaran tanpa harus mengorbankan martabat seseorang,” katanya.

Selain itu, penting bagi pembuat konten untuk menyaring bahasa dan sudut pandang. Gunakan diksi yang empatik, tidak menghakimi, dan tidak memelintir fakta.

Derajad mengatakan dalam konteks kasus kriminal, pembuat konten sebaiknya mengedepankan analisis yang berimbang, seperti menyoroti akar masalah, sistem hukum, atau dampak sosialnya, dan bukan sekadar menampilkan kronologi secara sensasional.

Baca juga: Sosiolog harap Gen Z kuasai literasi digital tangkal radikalisme

Ia juga menekankan pentingnya memberi ruang untuk berempati, bisa dengan menunggu informasi yang valid sebelum dibagikan, memberi waktu pada keluarga korban untuk berdamai dengan keadaan dan tidak menjadikan semua tragedi untuk dijadikan konten sebagai bentuk tanggung jawab sosial.

“Konten yang berempati bukan berarti kehilangan daya tarik, justru sebaliknya, ia membangun kepercayaan dan kredibilitas yang jauh lebih dalam di mata publik. Karena di balik setiap layar, selalu ada hati dan rasa kemanusiaan yang harus dijaga,” terangnya.

Lebih jauh Derajad mengatakan adanya media sosial membuat perubahan pada masyarakat yang kini selalu membagikan aktivitasnya di dunia maya sebagai cara manusia menampilkan diri, berinteraksi dan membangun makna sosial.

Aktivitas mengunggah foto, video, atau status bukan lagi sekadar berbagi informasi, tetapi telah menjadi bentuk ekspresi identitas dan pencarian pengakuan sosial.

Dengan sosial media, publik bisa menampilkan pengalaman hidup, gagasan, bahkan memperjuangkan isu sosial melalui konten yang menjadikan media sosial kini menjadi ruang partisipasi publik yang luas dan dinamis.

“Kita sedang menyaksikan pergeseran nilai dari being ke showing, dari mengalami menjadi menampilkan. Momen-momen kehidupan sering kali kehilangan kedalaman karena lebih diarahkan untuk menjadi konten ketimbang pengalaman. Di titik ini, media sosial tidak hanya menjadi sarana komunikasi, tetapi juga mekanisme kontrol sosial baru di mana algoritma, opini publik, dan tekanan sosial membentuk perilaku manusia,” kata Derajad.

Derajad melihat fenomena serba upload juga bisa dibaca sebagai bentuk cultural citizenship baru, di mana warganet menegaskan kehadiran dan suara mereka dalam ruang publik digital.

Banyak anak muda menggunakan media sosial untuk berkreasi, mengedukasi, dan mengorganisir perubahan sosial.

Namun Derajad mengatakan tantangan saat ini bukan untuk menolak media sosial, tetapi membangun kesadaran kritis bagaimana pembuat konten bisa hadir secara otentik dan bermakna di ruang digital tanpa kehilangan jati diri dan refleksi kemanusiaan.

Baca juga: Kebebasan bermedia sosial harus diiringi dengan tanggung jawab moral

Baca juga: Nezar Patria soroti bahaya fenomena bilik gema di media sosial

Pewarta: Fitra Ashari
Editor: Indriani
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |