London (ANTARA) - Sejumlah ilmuwan belum lama ini mendeteksi DNA spesies laut invasif di Arktik Kanada, memberikan bukti bahwa perairan yang menghangat dengan cepat di area tersebut menjadikannya kurang efektif sebagai pelindung alami terhadap ancaman ekologi, menurut sebuah studi terbaru.
Penelitian itu, yang diterbitkan dalam jurnal Global Change Biology sebelumnya pada pekan ini oleh para ilmuwan di British Antarctic Survey (BAS), menandai identifikasi pertama spesies teritip yang bukan spesies asli daerah tersebut di perairan Arktik Kanada.
Perubahan iklim memanaskan Laut Arktik hampir empat kali lebih cepat daripada rata-rata global. Perairan yang dulunya dingin dan menghalangi organisme invasif kini kehilangan perannya sebagai pelindung termal.
Penemuan ini dilakukan dengan menggunakan metabarcoding DNA lingkungan (eDNA), suatu teknik yang memungkinkan pendeteksian beberapa spesies dari sampel air tunggal.
Saat organisme laut melintasi lautan, mereka melepaskan materi genetik melalui sel kulit, kotoran, dan jejak biologis lainnya. Dengan menganalisis jejak-jejak yang dikumpulkan dari rute kapal pesiar Arktik, para ilmuwan mengidentifikasi teritip teluk (Amphibalanus improvisus) yang bukan spesies asli daerah tersebut.
Spesies ini, yang sudah umum di perairan Eropa dan Samudra Pasifik, diketahui menyebabkan pencemaran biologis pada kapal, jaringan pipa, dan infrastruktur pesisir, serta mengganggu ekosistem asli.
Spesies invasif laut sering kali terbawa dalam air pemberat kapal (ship ballast water) atau menempel pada lambung kapal. Lalu lintas pelayaran di Arktik Kanada juga telah meningkat lebih dari 250 persen sejak tahun 1990, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan dampak ekologis di masa mendatang.
"Perubahan iklim benar-benar merupakan inti dari masalah ini," kata Elizabeth Boyse, penulis utama studi ini dan ahli ekologi di BAS.
"Jumlah kapal meningkat karena berkurangnya es laut yang kemudian memberi jalan bagi rute pelayaran baru. Selain itu, spesies invasif yang terbawa oleh kapal yang berlayar ke Arktik kini menjadi lebih mungkin bertahan hidup dan membentuk populasi karena suhu air yang lebih hangat," kata Boyse, demikian warta Xinhua.
Penerjemah: Xinhua
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.