Jakarta (ANTARA) - Periset dari Pusat Riset Pendidikan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Syahrul Ramadhan menemukan sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berbasis zonasi terbukti menurunkan kesenjangan antara sekolah yang sebelumnya dinilai berkualitas dan tidak berkualitas.
Berdasarkan riset yang dilakukan dengan analisis data administratif Ujian Nasional (UN) 2019 dan Asesmen Nasional (AN) 2022, serta studi kualitatif di sembilan daerah di Indonesia, ditemukan fakta bahwa terjadi penurunan kesenjangan hasil belajar pada literasi dan numerasi sekitar 20 persen yang diukur dengan performa sekolah.
"Terjadi penurunan kesenjangan antara sekolah yang berkualitas dan sekolah yang dulunya tidak memiliki nilai yang baik itu. Jadi, kesenjangan antara masing-masing sekolah itu akhirnya menjadi menipis," kata Syahrul dalam Gelar Wicara Refleksi Pendidikan Indonesia di Jakarta, Kamis.
Di samping itu, Syahrul juga memaparkan terjadi pula penurunan kesenjangan di bidang status sosial ekonominya, serta peningkatan partisipasi peserta didik berkebutuhan khusus.
Di DKI Jakarta, misalnya, jumlah siswa berkebutuhan khusus semakin bertambah, dengan 2.734 siswa SMP dan 407 siswa SMA pada 2020, 3.030 siswa SMP dan 612 siswa SMA pada 2021, serta 3.169 siswa SMP dan 1.021 siswa SMA, di mana jumlah ini juga diiringi dengan meningkatnya jumlah sekolah inklusi.
"Dilihat bahwa tiap tahun partisipasi dari peserta didik yang berkebutuhan khusus tersebut semakin meningkat. Ini menunjukkan bahwa pendidikan ini semakin setara dan berkeadilan," ujarnya.
Baca juga: Wapres minta sistem zonasi sekolah dihilangkan
Baca juga: DPR: Penghapusan PPDB Zonasi harus pertimbangkan beragam aspirasi
Meski demikian, Syahrul menyampaikan nilai positif ini bukan tanpa kekurangan. Ia juga menyampaikan sejumlah catatan yang harus diperbaiki pemerintah, seperti adanya wilayah yang tidak terjangkau sekolah negeri atau blank spot, yang juga menjadi salah satu penyebab permasalahan adanya pemalsuan/pemindahan alamat Kartu Keluarga (KK), sehingga anaknya dapat belajar di sekolah yang menjadi incaran.
"Kebijakan PPDB ini perlu dilanjutkan karena sudah menunjukkan dampak positif, hanya saja implementasi masih menghadapi sejumlah tantangan. Oleh karena itu, ini menjadi PR kita bersama bagaimana caranya agar kebijakan yang bagus ini, ini bisa terus diperbaiki agar menjadi mewujudkan pendidikan yang berkeadilan dan bermutu," tutur Syahrul Ramadhan.
Menanggapi hal tersebut, Pakar Pendidikan dari Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Prof Anita Lie menyampaikan hal senada, bahwa terdapat banyak manfaat yang bisa diambil dari PPDB zonasi.
Meskipun terdapat sejumlah penolakan terhadap PPDB zonasi di sejumlah daerah, Pemenang Habibie Prize 2024 ini menceritakan dukungan terhadap PPDB Zonasi justru terjadi di Surabaya.
Anita menilai polemik soal PPDB zonasi ini bisa berbeda-beda bagi setiap daerah, karena masing-masing daerah memiliki keunikan dan konteks lokalnya masing-masing.
Sehingga, ia menyarankan agar implementasi PPDB zonasi agar dapat dikaji efektivitasnya, termasuk juga di antaranya dengan pelibatan sekolah swasta yang berpotensi untuk mewujudkan pendidikan yang lebih merata.
"Namanya kebijakan itu memang butuh waktu yang cukup panjang ya agar produk dari kebijakan atau efek dari kebijakan itu bisa menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. PPDB zonasi ini kan untuk mewujudkan kesetaraan dan pemerataan, jadi memang teknis pelaksanaan PPDB itu masih bermasalah dan itu juga mungkin perlu terus eksperimentasi dan diferensiasi di setiap daerah," ucap Anita Lie.
Baca juga: Problem zonasi, pemerintah diminta gandeng sekolah swasta lebih masif
Baca juga: Mendikdasmen: Keputusan zonasi tunggu Sidang Kabinet
Pewarta: Sean Filo Muhamad
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024