Jakarta (ANTARA) - Pengamat politik Boni Hargens mengusulkan inovasi sistemik melalui penerapan dual control justice system atau sistem pengawasan hukum dua lapis sebagai solusi rasional untuk menata ulang keseimbangan antara Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Kejaksaan RI.
Menurut dia, hal tersebut sebagai salah satu langkah reformasi sistem hukum di Indonesia, khususnya di era kepemimpinan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
"Dengan begitu, Polri tetap sebagai pelaksana penyidikan dan kejaksaan sebagai judicial controller sehingga ada mekanisme saling jaga," ujar Boni dalam keterangan di Jakarta, Selasa.
Boni berpendapat model pengawasan hukum dua lapis menawarkan kerangka kerja yang lebih jelas dan terukur dalam pembagian peran kedua lembaga tersebut.
Dengan model tersebut, kata dia, maka Polri tetap menjadi pelaksana utama penyidikan, sebagaimana amanat Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dengan kewenangan penuh dalam pengumpulan bukti dan penetapan tersangka.
Sementara Kejaksaan, kata dia, merupakan judicial controller atau pengontrol peradilan dengan fungsi utama sebagai pengendali formal yang memastikan legalitas dan kelengkapan berkas perkara sebelum masuk ke tahap penuntutan.
Dengan demikian, dia menilai sistem tersebut akan melahirkan mekanisme saling jaga antara Polri dan Kejaksaan.
"Fungsi P-19 dan P-21 kembali bermakna, pengawasan berjalan dua arah, dan kredibilitas kedua lembaga justru meningkat," tuturnya.
Baca juga: Pengamat nilai reformasi kultural kunci reformasi Polri
Boni menekankan sistem dua lapis bukan kompetisi antarlembaga, melainkan mekanisme saling jaga. Dengan pemisahan peran yang jelas, setiap lembaga dapat fokus pada fungsi inti tanpa tumpang tindih kewenangan yang kontraproduktif.
Dia pun mengungkapkan sejumlah keuntungan sistem pengawasan dua lapis, antara lain pemisahan fungsi yang jelas dan terukur, mekanisme pemeriksa dan penyeimbang (check and balance) yang efektif, peningkatan kualitas berkas perkara, reduksi potensi penyalahgunaan wewenang, penguatan kepercayaan publik, serta efisiensi proses peradilan pidana.
"Kejaksaan tidak mengambil alih fungsi penyidikan, tetapi memperkuat perannya sebagai quality controller yang memastikan setiap perkara yang masuk ke pengadilan telah memenuhi standar pembuktian yang ketat," ucap Boni.
Dalam kaitan dengan reformasi hukum era Prabowo-Gibran, dia mendorong pendekatan yang lebih holistik dan berorientasi pada penguatan moral institusional.
Menurut Boni, arah reformasi hukum seharusnya berfokus pada penguatan moral lembaga dan keseimbangan kewenangan, bukan pada perluasan struktur kekuasaan yang cenderung menciptakan oligarki hukum.
Dikatakan ia bahwa Polri telah menjadi contoh nyata lembaga hukum yang berani diawasi dan siap dikritik, sehingga model tersebut harus direplikasi ke berbagai lembaga lainnya untuk menciptakan ekosistem penegakan hukum yang sehat dan berkelanjutan.
Dia menjelaskan esensi dari reformasi moral, antara lain penguatan moral institusional, yakni membangun budaya integritas dan akuntabilitas di setiap lembaga penegak hukum sebagai prioritas utama reformasi.
Baca juga: Pembentukan tim transformasi Polri bisa bangun kepercayaan publik
Selain itu, lanjut dia, keseimbangan kewenangan, yaitu memastikan distribusi kekuasaan yang proporsional antara lembaga untuk mencegah konsentrasi yang berlebihan.
Esensi lainnya, disebutkan Boni, berupa transparansi lintas lembaga, yakni mendorong semua institusi hukum untuk membuka diri terhadap pengawasan publik dan evaluasi independen.
Hal itu termasuk kolaborasi berkelanjutan, yakni membangun mekanisme koordinasi yang efektif tanpa menghilangkan fungsi check and balance antarlembaga.
Maka dari itu, dirinya mengingatkan bangsa Indonesia membutuhkan lembaga hukum yang saling mengawasi, bukan saling meniadakan.
Dia menegaskan bahwa reformasi hukum bukan tentang memperluas kekuasaan, tetapi memperluas tanggung jawab moral.
Oleh karena itu, kata dia, kini giliran lembaga-lembaga lain untuk meneguhkan komitmen mereka terhadap transparansi dan kolaborasi lintas institusi.
"Reformasi hukum yang sejati bukan diukur dari seberapa banyak kewenangan yang ditambahkan, tetapi dari seberapa besar tanggung jawab moral yang dipikul dan dijalankan dengan konsisten," kata Boni.
Baca juga: Wakapolri tekankan pentingnya perubahan fundamental di tubuh Polri
Baca juga: Komisi XIII DPR ingatkan Reformasi Polri harus titik beratkan HAM
Baca juga: Istana: Presiden Prabowo lantik Komite Reformasi Polri minggu depan
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.