Jakarta (ANTARA) - Pengurus Pusat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) Khudori menilai pemerintah perlu mengubah mekanisme penyaluran beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) agar operasi pasar efektif.
Pemerintah terus menggencarkan operasi pasar beras SPHP melalui Bulog untuk menekan harga beras yang masih tinggi. Namun, Khudori dalam pernyataan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Sabtu, menilai mekanisme penyaluran saat ini belum cukup efektif dan perlu segera diubah agar dampaknya lebih terasa di pasar.
Khudori mengatakan hingga 18 September 2025, penyaluran beras SPHP baru mencapai 392.295 ton atau 26,15 persen dari target 1,5 juta ton. Dengan sisa target lebih dari 1 juta ton, pemerintah perlu meningkatkan volume penyaluran harian menjadi sekitar 10.650 ton, hampir dua kali lipat dari rata-rata saat ini.
Menurut Khudori, kendala utama terletak pada model penyaluran yang menyasar konsumen akhir melalui tujuh saluran tetap, seperti toko BUMN, koperasi, jejaring Rumah Pangan Kita (RPK) dan swalayan.
Meskipun jumlah mitra penyalur mencapai 31.477 unit, serapan per outlet sangat rendah, hanya sekitar 184 kilogram (kg) per hari. Penambahan outlet dalam jumlah besar dinilai tidak realistis dalam waktu singkat.
“Operasi pasar seharusnya mengguyur beras ke pedagang pasar grosir, bukan hanya ke mitra penyalur yang melayani konsumen langsung. Kalau stok di pasar grosir melimpah, harga di pasar eceran akan lebih cepat turun,” ujar dia.
Pasar grosir seperti Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), Medan, Surabaya, Makassar, Palembang, dan Banjarmasin disebut sebagai titik strategis yang bisa menahan atau menurunkan harga beras secara nasional. Integrasi pasar beras yang tinggi di Indonesia membuat pergerakan harga antar wilayah saling terkait.
Meski ada kekhawatiran bahwa pedagang besar bisa mengambil keuntungan dari selisih harga pasar, pengawasan ketat oleh Satgas Pangan dan penggunaan kemasan SPHP 5 kg dinilai mampu menekan potensi kecurangan.
Ia menekankan pentingnya memberikan margin wajar bagi pelaku pasar agar tetap berpartisipasi tanpa merusak tujuan stabilisasi harga.
Perubahan mekanisme penyaluran juga dianggap mendesak karena sebagian besar stok cadangan beras pemerintah (CBP) di gudang Bulog sudah berusia lebih dari empat bulan. Jika tidak segera disalurkan, risiko penurunan mutu dan pembengkakan biaya penyimpanan akan semakin besar.
“Operasi pasar harus kembali ke esensinya: menggunakan pasar sebagai instrumen utama penyaluran. Kalau harga di pasar masih tinggi dan stok terbatas, berarti operasi pasar belum berhasil,” katanya.
Merujuk data panel harga Badan Pangan Nasional pada 18 September 2025, harga beras premium di zona I mencapai Rp15.338 per kg, di zona II Rp16.405 per kg, dan di zona III Rp18.305 per kg.
Sementara harga beras medium di zona I mencapai Rp13.434 per kg, di zona II Rp14.049 per kg, dan di zona III Rp15.976 per kg. Semua masih berada di atas harga eceran tertinggi (HET), kecuali beras medium di zona I yang sudah berada di bawah HET.
Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Virna P Setyorini
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.