Pengamat kehutanan: Isu negatif rugikan ekspor produk kayu ke AS

5 days ago 7

Jakarta (ANTARA) - Pengamat kehutanan Petrus Gunarso menilai isu negatif yang dilontarkan lembaga nonpemerintah (NGO) yang menyebut keterlibatan industri kendaraan rekreasi (RV) Amerika Serikat dalam deforestasi hutan tropis Kalimantan merugikan ekspor produk kayu ke AS.

Menurut Petrus, dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu, temuan Earthsight dan Auriga Nusantara yang menyebut perusahaan RV AS menggunakan kayu lauan dari Kalimantan yang terkait deforestasi tidak sepenuhnya mencerminkan realitas industri kehutanan di Indonesia.

Menurutnya, kayu tersebut kemungkinan besar berasal dari izin pemanfaatan kayu (IPK) yaitu hasil tebangan saat pembukaan lahan untuk HTI.

"Itu sebenarnya sisa-sisa dari HTI, sampah yang laku dijual lalu diolah. Legal, karena ada IPK. Tapi digambarkan sangat bombastis, seolah-olah hutan alam ditebang habis-habisan untuk pasok Amerika. Padahal kenyataannya tidak begitu," katanya.

Istilah "deforestasi" lanjutnya, sering dipakai secara longgar oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional untuk menggambarkan perubahan tutupan lahan, bahkan ketika terjadi alih fungsi dari hutan alam menjadi hutan tanaman industri (HTI).

"Deforestasi itu apa sih? Perubahan tutupan lahan dari hutan ke nonhutan. Kalau dari hutan alam menjadi monokultur, WWF menyebut tetap deforestasi. Tapi, kalau ditanam kembali dengan eukaliptus atau akasia, apa itu masih disebut deforestasi?" ujarnya.

Petrus juga mengingatkan bahwa sektor kehutanan Indonesia saat ini tengah menghadapi kemunduran, dari sekitar 550 HPH (hak pengusahaan hutan) di era 1990-an, kini tinggal 200-an.

Produksi kayu hutan alam pun anjlok menjadi hanya sekitar 1,6 juta meter kubik per tahun, bahkan tidak mencukupi kebutuhan kayu untuk Jakarta saja.

"Kalau (laporan tersebut) tujuannya membunuh industri kayu, mungkin berhasil. Tapi, tanpa laporan itu pun, industri kayu kita sudah megap-megap," katanya.

Oleh karena itu, menurut Petrus, laporan yang ditulis The New York Times berdasarkan riset Earthsight dan Auriga perlu dilihat dengan hati-hati.

Menurutnya, narasi "rekreasi merusak hutan tropis" bisa membentuk persepsi negatif di mata publik internasional, padahal yang diekspor hanyalah kayu hasil pembersihan lahan.

"Kalau betul kayu itu dari IPK, ya legal. Tidak seharusnya diributkan seolah ini bencana ekologis besar. Industri kehutanan kita memang bermasalah, tapi menyamakan semua aktivitas kayu dengan deforestasi jelas menyesatkan," katanya.

Sementara itu, Guru Besar IPB University Sudarsono Sudomo menilai berbagai aturan di sektor kehutanan kerap menambah beban biaya tanpa memberi manfaat nyata bagi pelaku usaha.

"Setiap aturan itu hampir pasti menimbulkan cost. Kalau manfaatnya lebih besar, tentu tidak masalah. Tapi umumnya aturan justru lebih banyak biayanya daripada keuntungan yang didapat," katanya.

Dia menegaskan pengusahaan hutan alam tidak serta merta menyebabkan deforestasi sebab hutan alam itu "renewable" secara biologis, tapi belum tentu secara finansial.

"Pengusaha juga tidak mungkin menebang semua karena biaya investasi tinggi. Asal tidak diganggu, hutan bisa pulih sendiri," katanya.

Menurutnya, tren industri kehutanan sejak 1990 terus menurun. Dari jumlah perusahaan hingga luas areal, semuanya menyusut tajam.

"Belum pernah ada bukti di dunia ini pengusahaan hutan alam yang benar-benar berhasil. Tanpa investasi baru, industri kehutanan jelas akan berakhir," ujarnya.

Baca juga: Ekspor furnitur kayu Cirebon capai 2,04 juta dolar AS pada awal 2025

Baca juga: HIMKI siap diversifikasi pasar ekspor, antisipasi tarif 25 persen AS

Baca juga: KLHK siap tingkatkan nilai ekspor produk kayu berkelanjutan

Pewarta: Subagyo
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |