Pemanasan global picu lonjakan hujan ekstrem di Sri Lanka dan Sumatra

1 hour ago 2

Istanbul (ANTARA) - Hujan ekstrem jadi semakin ekstrem di Sri Lanka dan Selat Malaka, yang melingkupi pesisir timur Pulau Sumatra, akibat pemanasan global, menurut laporan lembaga pemantau iklim World Weather Attribution.

Dalam laporan yang dirilis Rabu (10/12), lembaga tersebut menyimpulkan bahwa kawasan padat penduduk di wilayah tersebut berpotensi menghadapi peningkatan hujan deras dan banjir ekstrem.

Terlebih, hujan beserta longsor sejak November yang melanda Indonesia, Sri Lanka, Thailand, dan Malaysia sejak akhir bulan lalu telah menewaskan lebih dari 2.230 jiwa.

"Untuk wilayah Selat Malaka, peningkatan curah hujan ekstrem yang terkait dengan kenaikan suhu permukaan rata-rata global diperkirakan sekitar 9 persen hingga 50 persen," menurut lembaga itu.

"Di Sri Lanka, trennya lebih kuat: Kejadian curah hujan lebat selama 5 hari, seperti yang terjadi ketika Badai Siklon Ditwah, kini lebih intens sekitar 28 persen hingga 160 persen akibat pemanasan hingga saat ini," kata lembaga tersebut, melanjutkan.

Negara-negara yang melingkupi Selat Malaka yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

Di Pulau Sumatra, 990 orang tewas akibat banjir beserta longsor yang diperparah akibat Badai Siklon Senyar, sementara 222 lainnya masih hilang hingga Kamis (11/12).

Sementara di Sri Lanka, korban tewas akibat Siklon Ditwah meningkat menjadi 639 orang, dengan 203 lainnya masih hilang, hingga Kamis, menurut harian lokal Daily Mirror. Lebih dari 2,3 juta orang terdampak bencana tersebut.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Kamis mengumumkan sebuah rencana untuk menyerukan penambahan dana bantuan sebesar 35,3 juta dolar AS untuk masyarakat yang terdampak Siklon Ditwah di Sri Lanka.

Menurut keterangan PBB di Sri Lanka, dana tersebut ditargetkan membantu 658 ribu masyarakat paling rentan yang membutuhkan bantuan segera dari Desember 2025 hingga April 2026.

Lembaga tersebut juga mengakui bahwa peringatan dini telah dikeluarkan otoritas Indonesia dan Sri Lanka.

Namun, kegagalan infrastruktur komunikasi kemungkinan menjadi penyebab peringatan tersebut tak sampai pada masyarakat.

"Bahkan mereka yang menerima pesan tersebut seringkali tak dapat mengantisipasi besarnya banjir yang terjadi," kata World Weather Attribution.

"Isu seperti keterbatasan bahasa, waktu terjadinya banjir, dan terpencilnya lokasi masyarakat memberi tantangan lebih lanjut," demikian laporan tersebut.

Sumber: Anadolu

Baca juga: Tahun 2025 jadi tahun terpanas sepanjang sejarah

Baca juga: Studi: Fluktuasi tajam suhu harian jadi ancaman bagi masyarakat

Baca juga: Adaptasi iklim: melindungi perempuan, menjaga produktivitas nasional

Penerjemah: Nabil Ihsan
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |