Jakarta (ANTARA) - Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari berbagai lembaga sipil menyuarakan tagar #ResetKPU untuk mendesak penataan ulang sistem pemilihan umum (pemilu) yang dinilai kini terdapat beragam persoalan.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati yang mewakili koalisi tersebut mengatakan bahwa revisi UU Pemilu harus segera dilakukan mengingat banyaknya masalah pada lembaga penyelenggara pemilu itu, mulai dari masalah sistem teknologi yang buruk, kebijakan yang janggal, hingga etika para anggotanya.
"Kami menyerukan kepada semuanya, kami koalisi yang juga mendorong percepatan revisi UU Pemilu, juga memiliki kepentingan untuk terus menyuarakan ini," kata Mike dalam rilis secara daring yang dipantau di Jakarta, Minggu.
Dalam hal itu, menurut dia, koalisi mencatat setidaknya ada sejumlah kebijakan KPU yang bertentangan dengan undang-undang maupun putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
PKPU yang bertentangan itu yakni soal kuota afirmasi keterwakilan perempuan minimal 30 persen dan syarat mantan terpidana korupsi, kemudian PKPU soal penghitungan masa jabatan kepala daerah yang menimbulkan permasalahan.
Dan polemik yang terbaru, yakni terbitnya kebijakan KPU yang mengecualikan dokumen persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden sebagai informasi publik, alias dirahasiakan.
Walaupun akhirnya kebijakan itu dicabut, Mike menilai KPU tak membuka partisipasi publik dalam sejumlah penerbitan kebijakan. Dengan dicabutnya kebijakan itu, menurut dia, justru menimbulkan pertanyaan bagi publik.
"Ini mencatatkan bahwa betapa sampai detik ini KPU belum menunjukkan sebagai sebuah lembaga yang benar-benar serius," kata dia.
Dari sisi sistem, menurut dia, KPU hingga saat ini justru memperlihatkan banyaknya kelemahan dalam penggunaan sistem teknologi dan informasi. Bukannya memudahkan publik, dia menilai teknologi yang digunakan KPU Justru menjadi penyebab kekisruhan yang terjadi pada Pemilu 2024.
Contohnya, kata dia, pemanfaatan Sistem Informasi Rekapitulasi Pemilu (Sirekap) yang tidak siap saat digunakan. Saat proses rekapitulasi masih berlangsung, KPU Pun justru menutup akses tabulasi publik dengan menghilangkan tampilan diagram perolehan suara.
"Penutupan akses ini pada akhirnya menyulitkan pengawasan publik, membuka kecurigaan adanya manipulasi suara," kata dia.
Selain masalah sistem dan kebijakan, menurut dia, masalah etika yang dilakukan oleh Ketua KPU sebelumnya juga merusak citra dari lembaga tersebut.
Dia menilai masalah etika tersebut menjadi cikal bakal timbulnya banyak keabsurdan di tanah air. Sebab, kata dia, tindak-tanduk penyelenggara negara maupun anggota parlemen itu dibangun dari hasil pemilu yang diselenggarakan oleh para penyelenggara pemilu.
"Ini menurut saya catatan paling memperkuat semakin memperburuk kinerja KPU," katanya.
Adapun koalisi tersebut terdiri dari Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Pusat Studi Hukum Kebijakan (PSHK) Indonesia, Indonesian Corruption Watch (ICW), hingga Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas.
Baca juga: Istana ikuti perkembangan wacana revisi UU Parpol, tunggu evaluasi
Baca juga: Komisi II tampung usul Muhammadiyah tentang jalan tengah sistem Pemilu
Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.