Jakarta (ANTARA) - Membahas isu ketimpangan di Indonesia seolah tak ada habisnya. Tanpa perlu mencari, berbagai bentuk ketimpangan mudah sekali ditemukan.
Pernyataan “yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin” nyatanya bukan sekadar ungkapan klise. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa gini ratio mengalami peningkatan dari 0,379 pada Maret 2024 menjadi 0,381 pada September 2024.
Tidak hanya itu, jika dilihat dari ukuran ketimpangan lainnya, yaitu berdasarkan ukuran Bank Dunia, 20 persen kelompok pendapatan tertinggi mengalami peningkatan proporsi pengeluaran sebesar 0,33 persen poin selama Maret 2024–September 2024, dari 45,91 persen menjadi 46,24 persen.
Sementara itu, pengeluaran penduduk pada kelompok 40 persen terbawah hanya sebesar 18,41 persen dari total pengeluaran rumah tangga per September 2024. Angka ini hanya meningkat 0,01 persen poin dari kondisi Maret 2024 yang sebesar 18,40 persen.
Ketimpangan yang masih tinggi di Indonesia sangat disayangkan. Pasalnya, perekonomian nasional yang dilihat dari Produk Domestik Bruto (PDB) sebenarnya cukup besar. Bahkan, Indonesia saat ini menyandang status sebagai upper middle-income country.
Menurut data BPS, pada tahun 2024, PDB per kapita mencapai Rp78,6 juta atau 4.960,3 dolar AS. Jika pertumbuhan ekonomi yang ada dikelola dengan baik, seharusnya ketimpangan dapat ditekan. Namun, fakta bahwa ketimpangan masih melebar menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia belum dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, melainkan hanya oleh kelompok penduduk atas.
Fenomena ini selaras dengan teori Simon Kuznets yang menyatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, ketimpangan cenderung meningkat sebelum akhirnya menurun ketika suatu negara mencapai tahap pembangunan yang lebih matang.
Pada awal industrialisasi, pertumbuhan ekonomi lebih banyak menguntungkan kelompok atas yang memiliki akses lebih besar terhadap modal dan peluang bisnis, sementara masyarakat miskin tetap tertinggal. Namun, seiring dengan peningkatan investasi dalam pendidikan, sistem perlindungan sosial, dan kebijakan redistributif yang efektif, ketimpangan seharusnya berkurang.
Jika kita menggunakan hipotesis Kuznets sebagai lensa untuk membaca kondisi Indonesia, seharusnya, pada titik ini, ketimpangan mulai berkurang. Namun, yang terjadi justru sebaliknya—kesenjangan antara kelompok atas dan bawah semakin melebar. Ini menunjukkan bahwa meskipun ekonomi tumbuh, hasilnya tidak terdistribusi secara merata. Pertumbuhan yang ada tampaknya lebih berpihak pada mereka yang sudah mapan, sementara masyarakat berpenghasilan rendah masih berjuang untuk sekadar bertahan hidup. Artinya, Indonesia belum berhasil melewati fase awal dari Kuznets Curve karena kebijakan yang diterapkan belum cukup efektif dalam mendistribusikan hasil pertumbuhan.
Indonesia bisa berkaca pada negara-negara maju lainnya seperti China yang telah berhasil mengelola ketimpangan tinggi dengan kebijakan redistribusi pendapatan yang tepat.
Pada akhir abad ke-20, China menghadapi kesenjangan ekonomi yang sangat tajam akibat pertumbuhan yang timpang antara kota dan desa. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, pemerintahnya menerapkan strategi redistribusi yang agresif, termasuk pajak progresif, peningkatan belanja sosial, dan program pembangunan pedesaan yang masif.
Hasilnya, pertumbuhan ekonomi mereka tetap tinggi, tetapi dengan distribusi yang lebih baik dibandingkan sebelumnya. Ini membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi seharusnya tidak memperbesar kesenjangan, tetapi justru dapat menjadi alat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat jika diiringi dengan kebijakan yang tepat.
Sayangnya, model pembangunan ekonomi Indonesia masih terlalu berorientasi pada kapital besar. Investasi yang masuk lebih banyak mengalir ke sektor industri padat modal, seperti keuangan dan teknologi, yang menghasilkan keuntungan besar bagi investor tetapi hanya menciptakan sedikit lapangan pekerjaan.
Akibatnya, kelompok kaya semakin menguasai pasar, sementara kelompok miskin dan kelas pekerja hanya menjadi penonton dalam pertumbuhan ekonomi. Daya beli masyarakat bawah pun stagnan, karena pertumbuhan upah tidak sebanding dengan inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Selain itu, ketimpangan di Indonesia juga dipicu oleh rendahnya mobilitas sosial akibat ketidaksetaraan dalam akses pendidikan. Anak-anak dari keluarga miskin sering kali kesulitan mengakses pendidikan berkualitas, yang pada akhirnya membatasi peluang mereka untuk memperoleh pekerjaan dengan upah layak.
Kesenjangan ini semakin diperparah dengan tingginya biaya pendidikan tinggi dan kualitas sekolah di daerah tertinggal yang masih jauh di bawah standar. Akibatnya, mereka yang lahir dari keluarga miskin memiliki kemungkinan besar untuk tetap miskin, sementara mereka yang lahir dalam keluarga kaya memiliki akses lebih besar untuk mempertahankan dan meningkatkan kekayaan mereka.
Selain pendidikan, aspek kesehatan juga memainkan peran krusial dalam ketimpangan ekonomi. Akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas masih sangat bergantung pada kemampuan ekonomi seseorang.
Meskipun program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah berjalan, realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak masyarakat berpenghasilan rendah masih kesulitan mendapatkan pelayanan medis yang layak. Ketika kesehatan terganggu, produktivitas pun menurun, dan ini semakin memperkuat lingkaran setan kemiskinan yang sulit diputus.
Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk mengoreksi ketimpangan adalah kebijakan fiskal yang progresif.
Namun, hingga saat ini, sistem perpajakan di Indonesia belum cukup kuat untuk menjalankan fungsi redistribusi secara optimal. Rasio pajak terhadap PDB masih tergolong rendah, sementara beban pajak lebih banyak ditanggung oleh kelompok menengah dan pekerja formal dibandingkan oleh kelompok kaya dan pemilik modal besar.
Pajak kekayaan dan pajak warisan yang dapat menjadi alat efektif dalam mengurangi ketimpangan hampir tidak terdengar dalam kebijakan fiskal nasional.
Ketimpangan ekonomi yang terus melebar bukan hanya masalah statistik, tetapi juga ancaman nyata bagi stabilitas sosial dan politik. Ketidakadilan dalam distribusi pendapatan dapat menimbulkan frustrasi sosial yang berujung pada ketidakstabilan.
Sejarah telah membuktikan bahwa ketimpangan yang ekstrem sering kali menjadi pemicu utama berbagai bentuk kerusuhan sosial, meningkatnya ketidakpercayaan terhadap pemerintah, hingga melemahnya legitimasi negara di mata rakyatnya.
Jika Indonesia ingin keluar dari jebakan pertumbuhan yang tidak inklusif, strategi pembangunan harus diubah agar benar-benar mengutamakan pemerataan. Investasi dalam sektor pendidikan dan kesehatan harus diprioritaskan, bukan hanya sebagai program sosial, tetapi sebagai strategi ekonomi jangka panjang.
Peningkatan akses terhadap pendidikan berkualitas, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah, akan membantu mereka meningkatkan keterampilan dan daya saing di pasar tenaga kerja. Hal ini pada akhirnya akan mendorong mobilitas sosial yang lebih dinamis dan mengurangi ketimpangan antar-generasi.
Pemerintah juga harus lebih serius dalam menciptakan kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis tenaga kerja, bukan hanya berbasis modal. Sektor-sektor yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, seperti manufaktur dan pertanian modern, harus didorong dengan kebijakan insentif yang tepat.
Selain itu, UMKM yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi rakyat harus mendapatkan dukungan lebih besar, baik dalam bentuk akses permodalan, teknologi, maupun perlindungan pasar dari persaingan dengan korporasi besar.
Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi seharusnya tidak menjadi alat untuk memperkaya segelintir orang, tetapi menjadi sarana untuk menciptakan kesejahteraan yang lebih merata.
Pemerintah tidak boleh hanya berfokus pada angka PDB dan pertumbuhan investasi tanpa memperhatikan bagaimana hasil dari pertumbuhan tersebut didistribusikan. Selama kebijakan masih cenderung berpihak pada kelompok elite, ketimpangan tidak akan berkurang, dan Indonesia akan terus terjebak dalam paradoks pertumbuhan yang eksklusif.
Masa depan Indonesia tidak hanya bergantung pada seberapa tinggi ekonomi tumbuh, tetapi juga pada seberapa luas manfaat pertumbuhan itu dirasakan oleh seluruh rakyat. Jika pertumbuhan ekonomi tidak dapat menciptakan kesejahteraan yang lebih inklusif, maka status sebagai negara berpendapatan menengah atas hanya akan menjadi pencapaian di atas kertas, tanpa makna yang nyata bagi sebagian besar penduduk.
Untuk benar-benar menjadi negara maju, Indonesia harus berani mengubah arah kebijakan agar pertumbuhan ekonomi tidak hanya menghasilkan angka yang impresif, tetapi juga membawa perubahan nyata bagi kehidupan seluruh rakyatnya.
*) Lili Retnosari dan Tsuraya Mumtaz merupakan Statistisi di Badan Pusat Statistik (BPS)
Copyright © ANTARA 2025