Beijing (ANTARA) - Kerupuk menjadi kudapan yang biasa menemani ragam kuliner asal Indonesia seperti nasi goreng, ketoprak, bubur ayam, soto, atau menjadi teman makan nasi tanpa lauk.
Kebiasaan makan kerupuk lekat dalam masyarakat Indonesia yang terbukti dari adanya berbagai jenis kerupuk Nusantara mulai dari kerupuk udang, kerupuk ikan, kerupuk kulit, kerupuk gendar, dan kerupuk kemplang. Bahkan, makan kerupuk putih dilombakan setiap perayaan 17 Agustus.
Di China, negara dengan pengaruh kuliner kuat ke Indonesia, hadir kerupuk asli asal Indonesia dengan merek "Papatonk".
"Papatonk mulai tahun 2008, saat itu di China makanan impor masih jadi segmen yang lumayan seksi," kata Suprapto Santoso, pencipta kerupuk "Papatonk" dalam wawancara dengan ANTARA di Beijing.
Suprapto adalah CEO United Harvest China Co., Ltd, perusahaan yang memproduksi dan mendistribusikan kerupuk udang warna krem terang buatan Indonesia di pasar China.
Kantor pusat "Papatonk" berada di kota Dongguan, provinsi Guangdong, China. Perusahaan itu juga punya kantor perwakilan di Jakarta, Hong Kong, Taipei dan San Francisco, Amerika Serikat.
"Industri di China memang kuat, tapi saat itu kami mengidentifikasikan satu industri yang tidak sekuat lainnya adalah makanan dan minuman. China baru membuka akses pasar sekitar 1990," ungkap Suprapto.
Suprapto menjelaskan jika dibandingkan dengan merek makanan dan minuman asing di Indonesia yang sudah beroperasi sejak 1960-1970, makanan dan minuman impor di China baru hadir setelah 2001, pasca China bergabung secara resmi dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
"Saya lihat tidak banyak sektor dari Indonesia yang bisa masuk ke China di luar migas, mungkin hanya di bidang perikanan, agro-bisnis, dan terakhir di makanan minuman karena di sektor lain, China sudah sangat kuat," tambah Suprapto.
Karena pemain di sektor makanan minuman di China belum banyak saat itu, Suprapto pun membuat subkategori sendiri yaitu kerupuk udang yang produknya belum ada sama sekali di pasar China, sekaligus menjadikan kerupuk udang sebagai representasi makanan khas Indonesia.
"Karena di China itu sangat memandang 'nation branding' yang di asosiasisikan dengan subkategori tertentu. Contohnya, di mata orang China, Thailand terkenal dengan buah-buah tropis yang mahal, lalu Indonesia apa yang kuat? Saat itu kami lihat ada kopi, sarang burung walet lalu kami mulai subkategori baru yaitu kerupuk udang sebagai 'snack'," jelas Suprapto.
Suprapto mengatakan Indonesia kuat secara resep kerupuk udang sekaligus bahan baku udang segar yang berasal dari laut sedangkan di China sendiri belum ada camilan yang berasal dari tepung dicampur dengan "seafood".
"Maka kami melihat adaptasinya adalah menciptakan 'snack' kerupuk dengan budaya yang mereka sudah paham yaitu mengemil 'potato chip', pasar China ternyata bisa menerima kerupuk udang yang sudah mateng dan dikasih bumbu, edukasi pasar pun tidak terlalu sulit," ungkap Suprapto.
Cara memakan camilan kerupuk udang di China berbeda dengan cara mengonsumsi kerupuk udang di Indonesia yang menjadikan kerupuk sebagai teman makan nasi.
"Konsumen China itu kurang begitu fasih dalam hal deep frying preparation di rumah. Kalau mereka dikasih kerupuk mentah dan diminta menggoreng sendiri, mereka tidak tahu kapan harus angkat kerupuknya, karena secara tradisional budaya masakan merekan adalah dikukus, maka kami pun tidak menjual kerupuk mentah seperti budaya di Indonesia, tetapi kerupuk matang yang langsung dimakan seperti keripik kentang," jelas Suprapto.
Kebiasaan memakan kerupuk atau emping-empingan sebagai teman nasi, ungkap Suprapto hanya ada di beberapa negara di Asia Tenggara termasuk di Indonesia, Vietnam, Thailand maupun Malaysia.
Kerupuk udang buatan "Papatonk" pun menjadi teman konsumen China saat nonton TV di rumah atau main ponsel, persis seperti potato chip.
"Di situ kita lihat potensinya dijadikan snacking kategori tidak sebagai temannya nasi seperti di Indonesia," kata Suprapto.
Suprapto mengaku produknya sangat diminati konsumen China saat masa pandemi Covid-19 karena mayoritas masyarakat China berada di rumah dan banyak mengonsumsi "snack" termasuk kerupuk udang Papatonk.
"Tapi dua tahun terakhir sangat berat buat kami selain karena persaingan di retail, tapi juga masyarakat sering bepergian keluar rumah, jadi tidak 'snacking' lagi,"
Selain itu, kondisi perekonomian China yang mengalami penurunan ditambah dengan perang dagang dan lainnya juga ikut mempengaruhi omzet "Papatonk".
Baca juga: 10 kontainer kerupuk udang, bukti flagship Indonesia masih kondang
Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































