Yogyakarta (ANTARA) - Pakar komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Prof. Suciati mengungkap modus yang berpotensi dimanfaatkan kelompok teroris untuk merekrut anak melalui interaktivitas "game online" (gim daring).
"Ideologi dan radikalisme atau terorisme itu ternyata juga bisa dipoles melalui media digital. Jadi, pencucian atau brainwash yang dulunya offline sekarang bisa online," ujar Suciati di Yogyakarta, Selasa.
Menurut Guru Besar Ilmu Komunikasi UMY itu, penyusupan ideologi memungkinkan terjadi karena karakter teknologi digital yang interaktif, tidak terikat ruang dan waktu, serta membuka ruang komunikasi dua arah.
Menurut dia, perubahan peta komunikasi itu membuka peluang berbagai aktivitas yang sebelumnya hanya dapat dilakukan secara luring.
Prof. Suciati menyebut pola pemanfaatan ruang digital oleh kelompok teroris berkaitan erat dengan kondisi kerentanan pada anak pengguna gim daring.
Dia menyebut ada dua faktor utama yang sering menjadi pintu masuk bagi pelaku, yakni kecanduan gim dan latar belakang keluarga yang tidak harmonis.
"Saya melihat perekrutan teroris itu ada dua hal yang menjadi kata kunci, yaitu kecanduan dan broken home," kata dia.
Anak yang sudah kecanduan gim atau media sosial, kata dia, akan mengalami penurunan kemampuan mengendalikan perilaku, sehingga seluruh waktu dan fokus hidupnya tertarik ke aktivitas digital.
Ketika kondisi tersebut bertemu dengan situasi keluarga yang tidak harmonis atau kurang perhatian, anak menjadi lebih mudah menerima pengaruh dari pihak luar yang hadir di ruang digitalnya.
Prosesnya, kata Prof. Suciati, kerap dimulai dari aktivitas permainan yang tampak biasa, namun lambat laun anak mulai diarahkan ke ruang digital yang lebih tertutup.
"Awalnya mungkin biasa-biasa saja, main gim dan sebagainya. Nah, kemudian karena kecanduan mereka akan digiring ke platform khusus," ujar dia.
Dalam situasi tersebut, Suciati menilai pendekatan yang dilakukan kelompok tertentu makin mudah diterima karena anak tengah berada dalam fase pencarian jati diri.
Selain itu, kecanduan membuat mereka sulit menghentikan aktivitas digital, sementara kondisi keluarga yang rapuh membuat kebutuhan afeksi dan penerimaan dialihkan ke ruang virtual.
"Kalau belum masuk ke kecanduan, itu masih bisa dikontrol. Tetapi ketika sudah kecanduan anak-anak sudah tidak bisa dikontrol lagi. Artinya, segala sesuatu hidupnya itu untuk bermedsos, untuk bermain gim," kata dia.
Baca juga: BNPT ingatkan radikalisasi di ruang digital dapat terjadi dengan cepat
Baca juga: BNPT-Kemkomdigi "take down" 180.954 konten radikalisme di media sosial
Baca juga: Menebar narasi toleran, cegah radikalisme lewat ruang digital
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































