Pakar IPB sebut pentingnya penguatan sistem perizinan lahan perkebunan

2 months ago 19

Jakarta (ANTARA) - Kepala Studi Sawit Institut Pertanian Bogor (IPB) Budi Mulyanto mengatakan pentingnya pembenahan sistem perizinan, penguatan koordinasi antarinstansi pemerintah, dan pemberian ruang penyelesaian legalitas secara sistematis bagi status hukum lahan perkebunan.

"Kebijakan afirmatif terkait dengan legalitas lahan usaha perkebunan harus dilakukan secara sistematis dan mengikuti seluruh prosedur perizinan yang berlaku lintas sektor," kata Budi dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

Guru Besar IPB itu menilai, hal tersebut menjadi kunci bagi terciptanya kepastian hukum, perlindungan usaha, serta kredibilitas investasi di sektor agraria dan perkebunan nasional.

Karena itu, penyelesaian legalitas perusahaan perkebunan yang beroperasi sebelum 2016 terutama yang sudah mengantongi izin usaha perlu dilakukan secara sistematis dan proporsional, tanpa serta-merta dianggap pelanggaran meski belum memiliki hak guna usaha (HGU).

Budi mengatakan perusahaan perkebunan yang telah berdiri sebelum tahun 2016 dan telah memiliki izin usaha tidak serta-merta dianggap melanggar hukum meskipun belum mengantongi HGU.

Penegasan ini sejalan dengan pernyataan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid yang merujuk pada Pasal 42 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

Budi menjelaskan sebelum 2016, sistem perizinan di sektor perkebunan masih bersifat sektoral dan belum terintegrasi.

Izin lokasi, IUP, dan HGU masing-masing berada di bawah kewenangan institusi yang berbeda, dan tidak selalu berjalan secara berurutan di lapangan.

"Kondisi di lapangan tidak selalu ideal. Banyak perusahaan yang sudah melakukan pembukaan lahan dan menanam karena sudah mengantongi IUP dan izin lokasi, namun belum memiliki HGU karena kendala administratif atau teknis," katanya.

Selain itu, Budi menekankan penting untuk membedakan antara izin dan hak.

Izin, seperti IUP atau Amdal, merupakan bagian dari rezim perizinan sektor.

Sementara, HGU adalah bentuk hak atas tanah yang diberikan negara kepada pelaku usaha untuk mengelola dan memanfaatkan lahan dalam jangka waktu tertentu.

"HGU itu bukan izin. HGU adalah hak (right). Dan hak selalu datang bersamaan dengan tanggung jawab (responsibility) dan dan menjalankan berbagai peraturan yang ada (ristriction)," kata Budi.

"Hak untuk mengelola lahan membawa kewajiban untuk menjaga kesuburan tanah, tidak merusak lingkungan, serta mematuhi seluruh ketentuan hukum yang berlaku," imbuhnya.

Menurut Budi, ketiga prinsip tersebut merupakan fondasi penting dalam membangun sistem agraria yang adil dan berkelanjutan.

Dalam praktiknya, lanjut dia, pelaku usaha juga harus memenuhi kewajiban berbagai izin sektor lainnya.

Lebih lanjut, Budi menyoroti persoalan tumpang tindih antara kawasan perkebunan dan klaim kawasan hutan sebagai akar dari banyak konflik legalitas.

Ia menilai, banyak kawasan hutan saat ini ditetapkan tidak sesuai prosedur karena tidak didahului oleh proses inventarisasi yang lengkap sebagaimana diatur dalam UU No 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Terkait proses tata batas kawasan hutan, ia menekankan pentingnya turun langsung ke lapangan untuk memastikan kesepakatan antara para pihak yang berbatasan.

Baca juga: Menteri ATR jelaskan status lahan sawit di Sulteng

Baca juga: Nusron target masalah perusahaan sawit tak punya HGU selesai Desember

Baca juga: Komisi II apresiasi Menteri ATR/BPN bereskan lahan sawit tak ada HGU

Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |