Meredam derita petani singkong dan tebu Nusantara

2 hours ago 2
Atas arahan Presiden Prabowo Subianto, pemerintah resmi menerbitkan dua Permendag yang memperketat impor ubi kayu, tapioka, dan etanol demi melindungi petani dalam negeri

Jakarta (ANTARA) - Permasalahan singkong dan tetes tebu menjadi perhatian serius pemerintah karena menyangkut nasib jutaan petani kecil dan buruh tani di berbagai daerah sentra produksi.

Di tengah keresahan tersebut, Presiden Prabowo Subianto turun tangan langsung dengan memberikan atensi khusus terhadap persoalan yang kian mendesak untuk segera dicarikan solusinya ini.

Sebagai kepala negara, Prabowo tidak hanya menerima laporan, melainkan menginisiasi pembahasan masalah singkong dan tapioka dalam forum terbatas yang dihadiri jajaran kementerian terkait.

Rapat terbatas yang digelar pada pertengahan September itu digelar di Hambalang, menjadi wadah koordinasi guna merumuskan langkah cepat serta kebijakan tepat agar petani tidak semakin dirugikan.

Atensi presiden ini memberi harapan baru bagi petani singkong dan tebu bahwa suara mereka benar-benar didengar dan dicarikan jalan keluar demi keberlanjutan usaha tani di tanah air.

Ilustrasi- Singkong milik petani yang ada di salah satu pabrik tapioka di Lampung Utara. ANTARA/Ruth Intan Sozometa Kanafi.

Keresahan petani singkong

Lampung sebagai sentra produksi singkong menyumbang 70 persen produksi nasional, tetapi para petani di sini kerap dihantui keresahan harga jual hasil panen jatuh.

Setiap panen, mereka hanya bisa pasrah ketika harga singkong ditetapkan rendah, bahkan dipotong hingga sepertiga dari nilai sebenarnya. Rugi bukan lagi cerita satu-dua orang, melainkan jeritan bersama.

Ketua Perkumpulan Petani Ubi Kayu Indonesia (PPUKI), Dasrul Aswin, menggambarkan kondisi pelik yang dialami petani singkong selama dua tahun terakhir akibat anjloknya harga dan potongan rafaksi mencekik.

Sejak pertengahan 2024 harga singkong hanya berkisar Rp1.320 hingga Rp1.340 per kilogram, tetapi dipotong rafaksi mencapai 30 hingga 60 persen, jauh dari kondisi wajar. Hasil akhirnya, singkong dihargai hanya sekitar Rp675 per kilogram.

Padahal biaya produksi yang dikeluarkan petani rata-rata Rp740 per kilogram, mulai dari pengolahan hingga panen. Kondisi ini membuat keuntungan nyaris hilang, bahkan kerugian menimpa banyak petani singkong.

Kesulitan makin bertambah karena timbangan pabrik disebut tidak transparan. Dalam sekali muatan truk, petani bisa kehilangan berat hingga enam kuintal, sedangkan fuso berkapasitas 25 ton dapat hilang dua ton.

Keadaan terpuruk itu sempat mendorong aksi-aksi petani. Dari demonstrasi berulang hingga pertemuan dengan pemerintah. Mereka menuntut harga layak Rp1.350 per kilogram dengan rafaksi maksimal 15 persen.

Baca juga: Presiden Prabowo minta lindungi petani dari impor singkong-tapioka

Baca juga: Menteri Pertanian pastikan atasi persoalan singkong di Lampung

Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |