Beijing (ANTARA) - Agenda pemberlakuan tarif besar-besaran dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mungkin merupakan inisiatif kebijakan perdagangan paling agresif dalam sejarah modern. Ini adalah tanda lain dari arogansi dan unilateralisme AS yang mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh pasar global.
Tarif yang sangat tinggi terhadap impor AS mengancam perdagangan, yang akan mengganggu stabilitas ekonomi global. Kebijakan tersebut kemungkinan akan merusak rantai pasokan, menyebabkan inflasi, mengakibatkan volatilitas pasar global, dan secara tidak proporsional merugikan negara-negara Global South.
Krisis tarif saat ini merupakan seruan peringatan, menyadarkan untuk bersatu atau akan hancur. Krisis ini tidak hanya menjadi tantangan, tetapi juga peluang bagi negara-negara Global South untuk bersatu menanggapi krisis tersebut, untuk menunjukkan respons yang memperkuat suara dan pengaruh negara-negara berkembang dalam membentuk tata kelola ekonomi internasional.
China menghadapi tarif hingga 245 persen, sebuah angka yang sangat tidak lazim. Sementara itu, India, meski dikenai tarif yang relatif rendah di angka 26 persen (yang penerapannya saat ini sedang ditangguhkan selama 90 hari), berada dalam kondisi genting antara otonomi strategis dan pragmatisme ekonomi.
AS mungkin melabeli India sebagai raja tarif atas praktik perdagangannya, tetapi AS secara hipokrit menerapkan beban tarif kepada hampir semua mitra dagangnya, apa pun status perkembangan mereka. Langkah ini tampaknya merupakan strategi untuk membangun kembali dominasi sepihak AS dalam tata kelola perdagangan global, yang berkedok upaya mengatasi defisit perdagangan atau melindungi lapangan pekerjaan di AS.
Tarif terhadap impor global AS, seperti yang telah diumumkan, berubah dari tekanan yang bersasaran menjadi nasionalisme ekonomi yang agresif. Negara-negara Global South, yang berkaitan erat dengan jaringan manufaktur China, sedang bersiap menghadapi dampak yang sangat besar.
Di tengah kekacauan ekonomi ini, Gedung Putih menggunakan taktik intimidasi. Serangkaian kebijakan diumumkan, ditangguhkan sementara, dan dibatalkan hanya dalam hitungan jam. Beberapa negara tergoda dengan tawaran akses pasar istimewa dari AS sebagai bentuk pertukaran atas pembatasan hubungan ekonomi mereka dengan China. Namun, negara-negara hendaknya mencermati contoh-contoh di masa lampau yang sungguh-sungguh menyarankan agar tidak terjebak dalam perangkap oportunisme.
Menegosiasikan kesepakatan individual dengan AS mungkin secara keliru menunjukkan adanya kepentingan nasional yang diamankan, tetapi sebenarnya melemahkan kekuatan negosiasi (bargaining power) kolektif. Perjanjian bilateral tidak akan memberikan keamanan maupun keberlanjutan dalam suatu sistem apabila salah satu pihak diperbolehkan mengubah aturan secara sepihak. Negara-negara Global South harus memahami bahwa kesepakatan seperti itu dapat melemahkan kekuatan negosiasi kolektif mereka.
India dan China, dua perekonomian besar dengan pertumbuhan tercepat yang produk domestik bruto (PDB) gabungannya mencapai lebih dari 22 triliun dolar AS (1 dolar AS = Rp16.862) dan kapasitas manufaktur gabungannya mencapai hampir 35 persen dari kapasitas manufaktur global, memiliki pengaruh ekonomi yang signifikan. Kolaborasi kedua negara itu berpotensi menciptakan manfaat substansial bagi mereka sendiri maupun bagi negara-negara berkembang lainnya.
Dengan bekerja sama, kedua negara tersebut dapat membangun akses pasar timbal balik yang vital, mengembangkan kerangka finansial alternatif, menyelaraskan standar teknis, serta mengoordinasikan sumber daya secara efektif bagi negara-negara Global South. Kemitraan yang konstruktif ini dapat membuka jalan bagi tata kelola ekonomi global yang lebih adil. Selain itu, mempercepat dedolarisasi dan memperkuat kerangka-kerangka kerja, seperti BRICS dan New Development Bank, dapat meningkatkan otonomi keuangan mereka.
Meski koordinasi India-China sangat penting agar respons bisa efektif, negara-negara Global South lainnya juga harus dilibatkan. Konferensi Asia Afrika 1955 dan Konferensi WTO Tingkat Menteri di Bali pada 2013 menunjukkan potensi kerja sama Selatan-Selatan.
Negara-negara berkembang dapat melawan ancaman ekonomi AS dan memperkuat pengaruh mereka dalam tata kelola ekonomi internasional dengan solidaritas. Koordinasi India-China pun sangat penting. Jika dua perekonomian besar tersebut berbicara sebagai satu kesatuan, dunia tentu akan mendengarkan.
Catatan editor: Penulis artikel adalah Mohammed Saqib. Dia pendiri sekaligus sekretaris jenderal Dewan Ekonomi dan Kebudayaan India-China (India China Economic and Cultural Council), sebuah wadah pemikir (think tank) tentang masalah ekonomi dan budaya India-China.
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan pandangan Kantor Berita Xinhua.