MK putuskan AKD DPR RI harus akomodasi keterwakilan perempuan

7 hours ago 3

Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi pada Kamis, memutuskan komposisi anggota maupun pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) di DPR RI harus mengakomodasi keterwakilan perempuan berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota perempuan di tiap-tiap fraksi.

AKD itu meliputi Badan Musyawarah (Bamus), komisi, Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antarparlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), dan panitia khusus (pansus).

MK dalam hal ini mengabulkan Perkara Nomor 169/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan oleh Perkumpulan Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan pakar kepemiluan Titi Anggraini.

"Mengabulkan permohonan Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon IV untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan pada sidang pengucapan putusan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.

Perkara ini merupakan uji materi Pasal 90 ayat (2), Pasal 96 ayat (2), Pasal 103 ayat (2), Pasal 108 ayat (3), Pasal 114 ayat (3), Pasal 120 ayat (1), Pasal 151 ayat (2), dan Pasal 157 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) serta Pasal 427E ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MD3.

Dalam pertimbangan hukum, Mahkamah menyimpulkan dalil-dalil permohonan beralasan menurut hukum.

MK berpandangan kehadiran perempuan secara berimbang dan merata pada setiap AKD akan membantu sekaligus memfasilitasi anggota DPR perempuan memperjuangkan hak kaumnya secara kolektif di semua bidang kehidupan bernegara.

Baca juga: Ketua DPR sebut belum putuskan AKD yang akan bahas RUU PPRT

Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan sebagai kelanjutan dari upaya pemenuhan kuota perempuan dalam pengisian pengurus partai politik dan jumlah calon dalam pemilihan umum, jumlah perempuan yang berimbang juga harus tercermin pada semua AKD.

Mahkamah sepakat dengan dasar argumentasi para pemohon bahwa kehadiran perempuan pada setiap AKD akan memberi wadah bagi perempuan untuk menyumbangkan pemikiran dengan perspektif perempuan yang khas.

"Terlebih, Indonesia merupakan salah satu negara yang telah menyepakati sasaran Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), di mana ditegaskan dalam sasaran tersebut bahwa kesetaraan dan pemberdayaan gender menjadi target krusial dalam SDGs global, dengan salah satu sasarannya memastikan bahwa perempuan dapat berpartisipasi penuh dan mendapat kesempatan yang sama untuk kepemimpinan pada semua level pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan publik," kata Saldi.

Untuk memastikan keberimbangan keterwakilan perempuan dalam AKD, perlu dipastikan keberadaan perempuan tidak terpusat di fraksi tertentu.

Menurut Mahkamah, perlu dibuat mekanisme dan langkah konkret, baik secara kelembagaan maupun politik.

Saldi menuturkan setidaknya ada dua hal yang dapat dipraktikkan. Pertama, DPR dapat menerapkan aturan internal yang tegas agar setiap fraksi menugaskan anggota perempuan dalam setiap AKD sesuai dengan kapasitasnya.

"Apabila suatu fraksi memiliki lebih dari satu perwakilan di suatu AKD maka minimal 30 persen di antaranya adalah perempuan," ucapnya.

Baca juga: Komitmen parpol terhadap keterwakilan perempuan dalam AKD penting

Kedua, fraksi mengatur rotasi dan distribusi yang adil sehingga anggota perempuan tidak hanya ditempatkan di komisi sosial, perlindungan anak, dan pemberdayaan perempuan, tetapi juga di komisi ekonomi, hukum, energi, pertahanan, dan bidang-bidang lainnya.

"Bamus DPR juga memiliki peranan penting untuk melakukan evaluasi secara berkala terhadap komposisi AKD, serta memberikan rekomendasi penyesuaian jika terdapat ketimpangan gender antarfraksi atau antarkomisi," imbuh Saldi.

Berdasarkan pertimbangan itu, MK memberikan pemaknaan baru untuk Pasal 90 ayat (2), Pasal 96 ayat (2), Pasal 103 ayat (2), Pasal 108 ayat (3), Pasal 114 ayat (3), Pasal 120 ayat (1), Pasal 151 ayat (2) UU 17/2014 dengan menambahkan frasa "dengan memuat keterwakilan perempuan berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota perempuan pada tiap-tiap fraksi".

Selain itu, Mahkamah juga memandang eksistensi keterwakilan perempuan secara proporsional pada kursi pimpinan AKD akan membawa perspektif kesetaraan dan keadilan gender dalam pembuatan kebijakan oleh pembentuk undang-undang.

MK pun menyatakan ketiadaan ketentuan kuota paling sedikit 30 persen perempuan untuk mengisi posisi pimpinan AKD, seperti yang selama ini dipraktikkan, bertentangan dengan konstitusi.

Maka dari itu, MK memaknai Pasal 427E ayat (1) huruf b UU 2/2018 menjadi "Pimpinan komisi, Baleg, Banggar, BKSAP, MKD, dan BURT terdiri atas satu orang ketua dan paling banyak empat orang wakil ketua yang ditetapkan dari dan oleh anggota komisi, Baleg, Banggar, BKSAP, MKD, dan BURT berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional menurut pertimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi dengan memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen".

Baca juga: KemenPPPA dorong peningkatan legislator perempuan pada AKD DPR

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |