Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara atau UU BUMN konstitusional menyusul ditolaknya permohonan uji formil dalam Perkara Nomor 64/PUU-XXIII/2025.
Permohonan tersebut diajukan Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Mahasiswa Islam Cabang Jakarta Barat, Lokataru Foundation, dan perseorangan warga negara bernama Kusuma Al Rasyied Agdar Maulana Putra Pamungkas.
Akan tetapi, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Rabu, mengatakan Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum selaku pemohon I dan Lokataru selaku pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum.
"Menyatakan permohonan pemohon I dan pemohon II tidak dapat diterima. Menolak permohonan pemohon III untuk seluruhnya," ucap Suhartoyo membacakan amar putusan.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur, Mahkamah pada pokoknya menyatakan pembentukan revisi UU BUMN telah berlandaskan prinsip partisipasi bermakna dan memedomani asas keterbukaan.
Pembentuk undang-undang dinilai telah mewujudkan partisipasi bermakna dengan memberikan akses kepada masyarakat dan mendengarkan masukan dari para pihak yang mengetahui persoalan di lapangan serta terdampak langsung dari muatan revisi UU BUMN.
"Selain itu, RUU (rancangan undang-undang) dan NA (naskah akademik) telah disediakan oleh pembentuk undang-undang melalui laman resmi milik DPR, yaitu puuekkukesra.dpr.go.id, yakni pada menu SIMAS PUU," kata Ridwan.
Baca juga: KPK nilai gugatan UU BUMN ke MK merupakan hak warga negara
Di samping itu, imbuh dia, rapat-rapat pembahasan revisi UU BUMN yang bersifat terbuka telah disiarkan pula secara langsung melalui kanal YouTube DPR sehingga dapat disaksikan oleh publik.
"Bahwa dengan telah membuka akses kepada publik maka terlepas dari ada atau tidak adanya masukan dari masyarakat, hal tersebut telah cukup membuktikan bahwa proses perubahan Undang-Undang BUMN telah memenuhi prinsip partisipasi dan keterbukaan," ujarnya.
Dia menambahkan sekalipun terdapat masukan dari masyarakat, tetapi masukan tersebut tidak dimuat sebagai materi UU BUMN yang baru, Mahkamah menilai kondisi yang demikian tidak menegasikan makna partisipasi dan keterbukaan.
"Mengingat digunakan atau tidak digunakannya masukan tersebut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 (UU BUMN) adalah menjadi kewenangan pembentuk undang-undang dengan tetap memperhatikan kebutuhan dan korelasi masukan tersebut terhadap materi yang dimuat dimuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025," sambungnya.
Meskipun demikian, sebagai perwujudan prinsip negara demokrasi, Mahkamah tetap mendorong pemerintah dan DPR untuk selalu dan senantiasa mendengar dan memprioritaskan masukan dari masyarakat sebagai bahan pertimbangan substantif, sekaligus memastikan undang-undang yang disusun sesuai dengan kehendak dan kebutuhan masyarakat.
Baca juga: MK tolak uji materi UU BUMN yang diajukan serikat pekerja Pertamina
Di sisi lain, Mahkamah memahami adanya keterbatasan akses yang dialami pemohon karena adanya beberapa rapat tertutup. Menurut MK, hal itu seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi pembentuk undang-undang agar lebih selektif dalam menentukan rapat terbuka maupun tertutup.
"Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, pembentukan UU 1/2025 telah memenuhi asas keterbukaan dan partisipasi publik yang bermakna. Dengan demikian, dalil pemohon yang mempermasalahkan tidak terpenuhinya asas keterbukaan dan partisipasi bermakna dalam pembentukan UU 1/2025 adalah tidak beralasan menurut hukum," ucap Ridwan.
Sejatinya, pengujian formil UU BUMN juga diajukan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Abu Rizal Billadina dan Bima Surya, dalam Perkara Nomor 52/PUU-XXIII/2025. Namun, keduanya dinilai tidak memiliki kedudukan hukum sehingga permohonannya tidak dapat diterima MK.
Kendati demikian, putusan tersebut tidak bulat karena empat dari sembilan hakim konstitusi memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Keempat hakim tersebut adalah Ketua MK Suhartoyo, Wakil Ketua MK Saldi Isra, serta Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Arsul Sani.
Suhartoyo, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih berpendapat permohonan pemohon seharusnya dinyatakan beralasan menurut hukum sehingga dikabulkan untuk sebagian. Sementara Arsul Sani berpendapat pemohon III tidak memiliki kedudukan hukum sehingga seharusnya permohonan yang bersangkutan tidak dapat diterima.
Baca juga: MK putus uji formil UU TNI dan UU BUMN hari ini
Baca juga: Menggali maksud UU BUMN 2025
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.