Menolak jalan pintas, menyongsong jalan kebangkitan

5 hours ago 3

Jakarta (ANTARA) - Bagi pecinta novel pasti ingat sejumlah karya best seller, yang mewarnai khasanah sastra kita. Karya-karya yang laris (sebagian telah diangkat menjadi film yang juga laris) ternyata memiliki benang merah yang sama: perjuangan menembus keterbatasan demi meraih mimpi.

Di antara karya-karya penting, misalnya tetralogi Laskar Pelangi, trilogi Negeri 5 Menara, 9 Summers 10 Autumns, dan Mimpi Sejuta Dolar. Popularitas keempat novel ini tidak lepas dari kemampuan para penulisnya membangkitkan harapan dan semangat, bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk maju, melainkan pijakan awal untuk melompat lebih tinggi.

Laskar Pelangi karya Andrea Hirata mengisahkan perjuangan anak-anak miskin di Belitong yang menuntut ilmu dengan segala keterbatasan fasilitas dan ekonomi, namun tetap memelihara mimpi-mimpi besar. Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi merekam perjalanan sekelompok santri di pondok pesantren modern yang bermimpi menaklukkan dunia, berangkat dari prinsip “man jadda wajada”, siapa yang bersungguh-sungguh, pasti berhasil.

9 Summers 10 Autumns adalah memoar Iwan Setyawan, anak sopir angkot dari Batu, Malang, yang dengan kerja keras dan pendidikan, berhasil menjadi salah satu Direktur di Nielsen Consumer Research, New York. Sementara Mimpi Sejuta Dolar adalah kisah nyata Merry Riana yang terpaksa merantau ke Singapura saat krisis moneter 1998, bertahan hidup dengan sisa uang pas-pasan, hingga sukses menjadi pengusaha dan motivator kelas Asia.

Aslinya bangsa pejuang

Benang merah dari semua kisah ini adalah bahwa mimpi besar, ketekunan, kerja keras, sikap pantang menyerah, tegar menghadapi kesulitan, dan sportif untuk berkompetisi, terbukti membawa banyak orang menembus batas sosial, ekonomi, bahkan geografis.

Dan mungkin itulah sebabnya cerita-cerita seperti ini begitu digemari di Indonesia, karena ia mencerminkan kenyataan hidup jutaan orang yang berjuang naik kelas, dan menjadi inspirasi bahwa harapan selalu ada bagi mereka yang mau berproses. Artinya, sesungguhnya tata nilai masyarakat kita memang menghargai nilai-nilai perjuangan sebagaimana diceritakan dalam novel yang laris itu.

Kisah perjuangan menembus keterbatasan untuk meraih mimpi tidak hanya hadir dalam novel. Beberapa waktu lalu, saya menyaksikannya sendiri. Di Desa Jatimakmur, Kecamatan Songgo, Kabupaten Brebes, bertemu Maulida Azzahra, anak seorang petani bernama Pak Saepudin.

Zahra diterima di empat universitas top dunia dan memilih melanjutkan studi ke New York University. Hal yang mengejutkan, bukan hanya Zahra yang berprestasi. Kakaknya, Khaidar Khamzah, pada tahun 2023 diterima di 13 universitas terbaik di Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada; dan akhirnya lulus dari University of Toronto, Kanada.

Mereka tumbuh dalam keluarga sederhana, ayah mereka seorang petani, Ibunya Bu Khotimah lulusan madrasah tsnanawiyah. Tentu saja, meraih pendidikan terbaik dari kampus kelas dunia tidak ada dalam jangkauan mereka. Jangankan kuliah di luar negeri, meneruskan pendidikan sampai SMA saja sudah merupakan perjuangan luar biasa.

Namun di tengah segala keterbatasan, Zahra dan Khamzah membuktikan bahwa dengan tekad, kerja keras, dan kompetisi, ternyata mereka bisa menjangkau cakrawala dunia.

Selain keluarga Pak Saepudin, saya juga pernah bertemu dengan Angga Fauzan, CEO MySkill, salah satu platform edutech yang berkembang pesat di Indonesia. Angga berasal dari keluarga kurang mampu. Dahulu orang tuanya berjualan ayam goreng di Pasar Kramat Jati untuk menopang hidup keluarga. Digusur dari keramaian ibu kota, mereka harus pulang ke kampung halaman di Boyolali dan tinggal di bekas kandang kambing.

Namun keterbatasan tidak mematahkan semangatnya. Fauzan belajar keras hingga diterima di Institut Teknologi Bandung (ITB). Dari sana, wawasannya terbuka luas, dan ia berhasil meraih beasiswa ke University of Edinburgh, Skotlandia.

Sepulangnya ke Tanah Air, Angga bekerja di sejumlah startup sebelum akhirnya mendirikan MySkill dan mendapatkan investasi dari East Ventures. Lewat perusahaannya, Angga ingin membantu lebih banyak pemuda dari latar belakang serupa. “Saya ingin menolong lebih banyak Angga-Angga lainnya agar bisa meraih mimpinya,” ujarnya.

Prestasi zonder previlese

Kisah-kisah ini menyuarakan satu hikmah penting: proses adalah hukum alam yang tidak bisa dihindari. Sebaliknya, metode jalan pintas terbukti sering membawa musibah. Cara jalan pintas, menerobos tahapan normal bukan saja mencederai nilai-nilai kejuangan, tetapi juga membawa risiko urusan-urusan penting ditangani oleh pribadi yang tidak memiliki kapasitas memadai. Bila kita buka mata dan buka hati, kisah-kisah perjuangan juga dialami oleh putra-putri para pemimpin bangsa kita sejak dahulu.

Megawati Soekarnoputri, putri Presiden Pertama RI, mengalami masa sulit, setelah ayahnya dilengserkan pada 1966. Cukup lama, ia dan keluarganya dipinggirkan secara politik. Megawati baru masuk DPR pada 1987, lalu didepak dari PDI versi pemerintah, dan harus melalui peristiwa Kudatuli 1996 yang tragis.

Butuh puluhan tahun hingga akhirnya ia dipercaya memimpin bangsa sebagai Presiden kelima RI. Putrinya, Puan Maharani, pun meniti jalan panjang. Ia memulai kariernya sebagai wartawan magang di Majalah Forum Keadilan, dan baru setelah bertahun-tahun aktif di PDIP, memimpin fraksi, masuk ke eksekutif menjadi menteri koordinator, hingga kemudian dipercaya menjadi Ketua DPR perempuan pertama dalam sejarah Indonesia.

Putri-putri dari Bung Hatta, Meutia Farida Hatta, Halida Nuriah Hatta, dan Gemala Rabi’ah Hatta, tidak satupun mendapat perlakuan istimewa dari ayahnya. Mereka tumbuh besar melalui jalan perjuangannya sendiri. Ada yang menjadi akademisi, ada yang menempuh jalan sebagai profesional. Kalaupun belakangan ada yang mendapat amanah menjadi menteri, itu karena prestasi yang bersangkutan, pun waktu pengangkatannya baru terjadi jauh setelah ayahnya berpulang.

Putri-putri Gus Dur, Alissa, Yenny, Inayah, dan Anita Wahid, menunjukkan bahwa menjadi anak presiden bukan alasan untuk menghindari proses. Alissa membangun Jaringan Gusdurian untuk memajukan toleransi dan keadilan sosial; Yenny memulai sebagai jurnalis perang di Timor Timur hingga Aceh sebelum memimpin Wahid Foundation; Inayah menempuh jalur seni dan budaya sambil vokal menyuarakan keberagaman; sementara Anisa fokus pada literasi digital dan gerakan anti-hoaks. Keempatnya membuktikan bahwa kontribusi bermakna lahir dari kerja keras dan dedikasi, bukan warisan nama besar.

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), putra Presiden keenam RI, juga ditempa dalam proses panjang. Menjadi lulusan terbaik di SMA Taruna Nusantara, lalu masuk Akademi Militer dan meraih Adhi Makayasa. Pendidikannya di luar negeri diselesaikan dengan track record yang jelas, di kampus-kampus ternama dunia.

Ia bertugas di berbagai misi internasional sebelum memutuskan meninggalkan karirnya dari dunia militer untuk terjun ke dunia politik. AHY pun memulai dari bawah, gagal berkompetisi sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta, ditugasi memimpin suatu gugus tugas (Kogasma) Partai Demokrat, dan baru setelah melewati berbagai ujian dipercaya memimpin partai.

Di dunia bisnis, sejumlah pengusaha besar mendidik anak-anaknya dengan kerja keras dan prinsip meritokrasi. Para pengusaha yang serius melakukan regenerasi pada umumnya menempuh pola yang sama, dikirim ke sekolah terbaik, didorong untuk magang atau bekerja di luar negeri, setelah cukup pengalaman dan kematangan baru secara bertahap dilibatkan dalam mengurus bisnis orang tuanya.

Tidak ada proses yang melompat, tidak ada jalan pintas, meski bisnis yang diurus adalah milik orang tuanya sendiri.

Menolak jalan pintas

Semua kisah ini menunjukkan bahwa tidak ada keunggulan tanpa perjuangan, dan tidak ada perjuangan tanpa proses. Begitu pula putaran sejarah bangsa Indonesia. Gerakan kebangkitan nasional (1908), Soempah Pemoeda (1928), Proklamasi Kemerdekaan (1945), hingga revolusi (1966) dan Reformasi (1998), kesemuanya adalah buah dari perjuangan yang melalui proses panjang. Namun sayangnya, hari ini, jalan pintas dan praktik nepotisme tampaknya tengah menggerogoti resiliensi bangsa kita. Karena itu harus ditolak dan dilawan.

Di Hari Kebangkitan Nasional ini, penting bagi kita untuk meyakini, bahwa bangsa ini akan terus berderap maju jika menghargai proses, menolak jalan pintas, dan memberi tempat bagi mereka yang berjuang berdasarkan kapasitas.

Ketika kebiasaan menerobos aturan dibiarkan dan meritokrasi digantikan oleh nepotisme, maka keadilan dan kualitas akan ikut terkubur.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang percaya pada keringat, bukan pada garis keturunan. Mari rawat keyakinan bahwa proses tidak pernah mengkhianati hasil. Dan mereka yang membajak proses, cepat atau lambat, akan tertinggal oleh sejarah.

*) Sudirman Said adalah Ketua Institut Harkat Negeri

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |