Refleksi Hari Kebangkitan Nasional: Menuju generasi berkualitas 2045

4 hours ago 3

Jakarta (ANTARA) - Narasi optimistis selalu muncul dalam wacana Indonesia Emas 2045, salah satunya berkat bonus demografi.

Periode bonus demografi menjadi penting, berdasarkan asumsi negara yang berada dalam bonus demografi memiliki penduduk usia produktif melimpah, dan acapkali dianggap momentum meraih pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Bonus demografi menjadi modal penting Indonesia untuk menjadi negara maju pada 2045. Terdapat tekad kuat dari seluruh komponen bangsa, untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju saat mencapai satu abad, yang populer dengan tagline “Visi Indonesia Emas 2045”.

Berdasar pengalaman dari negara lain, tak banyak negara berkembang berhasil menjadi negara maju, ketika mereka telah menikmati kemerdekaan lebih dari satu abad.

Bangsa ini tidak boleh kehilangan waktu, bonus demografi harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Setidaknya ada dua profesi yang paling krusial untuk menyiapkan generasi baru, yaitu guru dan dokter.

Guru dalam menyiapkan aspek kognitif dan karakter, sementara dokter sebagai pemandu pola hidup sehat, agar generasi baru kita tumbuh sehat dengan kecukupan nutrisi.

Sementara, peran dokter dalam membangun semangat kemerdekaan di awal Abad 20 sudah banyak diketahui, yang kemudian dikenal sebagai Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei 1908).

Figur seperti dokter Soetomo, dokter Radjiman, dan dokter Tjipto Mangunkusumo adalah figur terdepan dalam menyemai gagasan bangsa yang merdeka, yang akhirnya tercapai pada tahun 1945.

Di masa awal kemerdekaan, juga muncul sejumlah dokter dari generasi berikutnya, yang terlibat langsung dalam gejolak revolusi, melalui figur dokter Muwardi, dokter J Leimena, dokter Sukiman, dan seterusnya.

Etos yang patut diteladani dari para dokter ini adalah bahwa antara aspirasi kemerdekaan dan komitmen kesehatan bagi rakyat, ibarat dua sisi dari koin yang sama, yang selalu berjalan beriringan.

Figur seperti dokter Radjimana atau dokter Tjipto misalnya, siap turun langsung ke masyarakat ketika terjadi wabah pes, cacar dan kolera di awal abad yang lalu.

Dengan terjun langsung ke masyarakat, para dokter bisa menyaksikan sendiri bagaimana ketimpangan sosial, kemiskinan, dan rendahnya kualitas kesehatan rakyat di bawah rezim kolonial

Demikian juga dengan dokter Muwardi, di tengah gejolak revolusi, sebagai pimpinan organisasi pemuda (Barisan Banteng), Muwardi tetap memprioritas waktunya bagi kesehatan pasien, khususnya di Kota Solo.

Bahkan kabarnya, saat “dijemput” oleh orang tak bertanggungjawab, dokter Muwardi sedang menangani pasien anak-anak, dengan kata lain orang yang menjemputnya sungguh tak memiliki empati.

Ada juga nama lain, seperti dokter Saleh Mangundiningrat dan dokter Oen, yang kebetulan keduanya juga berpraktik di Solo.

Dokter Saleh Mangundiningrat (ayah dari intelektual Sujatmoko) misalnya, sebagai dokter pribadi Sunan Pakubowono X, tetap memiliki kepekaan sosial yang tinggi, dengan menginisiasi klinik umum di komplek keraton, sehingga bisa diakses para abdi dalem (staf rendahan Istana), termasuk warga sekitar.

Demikian juga dengan dokter Oen, seorang dokter yang berjiwa sosial tinggi. Bagi pasien yang tidak mampu dan rumahnya jauh, tidak perlu membayar, dan bahkan diberikan ongkos transpor untuk pulang, termasuk biaya untuk pembelian obat di apotek.

Kedermawanan dokter Oen masih diingat publik sampai sekarang, hingga namanya diabadikan sebagai nama sebuah rumah sakit (swasta) di Solo.

Tugas guru (juga tenaga kesehatan) adalah menyiapkan masa depan generasi baru bangsa. Karena generasi baru adalah aset masa depan bangsa, yang kelak menjalankan roda pemerintahan dan menentukan nasib bangsa.

Menjadi tugas guru untuk menyiapkan generasi baru dalam kemampuan akademik, termasuk pendidikan karakter.

Pemerintah Indonesia sudah sering menjadikan Jepang, Finlandia, dan Singapura sebagai referensi soal peran guru.

Di negara-negara tersebut kualitas pendidikan bagus, karena kualitas dan kesejahteraan guru sangat diperhatikan.

Guru di Finlandia misalnya, adalah profesi yang prestisius, sejajar dengan profesi dokter dan insinyur.

Generasi muda Finlandia yang masuk program pendidikan calon guru, termasuk bibit unggul, sama cerdasnya dengan mahasiswa program studi teknik atau kedokteran.

Pengalaman menunjukkan bahwa investasi pada generasi baru, dalam bidang pendidikan dan kesehatan, adalah jalan menuju masyarakat yang damai, sejahtera dan berkelanjutan.


Kompetensi global

Tanpa pendidikan dan nutrisi yang berkualitas, generasi baru sebagai bagian dari bonus demografi, akan sulit berkontribusi besar pada pembangunan.

Generasi 2045 diharapkan memiliki kompetensi global, dengan tetap berpegang teguh pada semangat kebangsaan.

Indonesia saat ini sejatinya sudah memasuki era bonus demografi, ketika 70 persen rakyatnya berusia produktif.

Merujuk data Badan Pusat Statistik pada Agustus 2024, angka youth NETT (youth not in employment, education, and training) pada usia 15-24 tahun, mencapai 20,31 persen.

Angka NETT di Indonesia lebih tinggi dari rata-rata di ASEAN sebesar 16,3 persen, sementara untuk per negara, yang terbaik adalah Singapura, yakni 4,1 persen.

Singapura bisa menjadi model dalam koneksitas antara pendidikan dan lapangan kerja, dimana Singapura sudah menerapkan applied learning programme (ALP).

Program ini memungkinkan anak-anak mendapatkan pembelajaran berbasis proyek dalam sains, teknologi, teknik, seni dan matematika (STEAM).

Melalui model ini anak-anak belajar kolaborasi, berpikir kritis, dan memecahkan masalah secara langsung. Tujuannya bukan hanya tahu teori, melainkan bisa mengaplikasikannya dalam profesi dan lapangan kerja kelak.

Selanjutnya generasi baru juga diajari literasi dan keterampilan digital yang menekankan pengembangan keterampilan berpikir kritis. Intinya, siswa diajarkan untuk memahami dampak teknologi terhadap kehidupan di masyarakat.

Di Singapura, pendidikan vokasi dianggap setara dan bergengsi, sehingga sering menjadi pilihan utama.


Pendidikan vokasi

Di Indonesia, pendidikan vokasi masih dianggap sebagai kelas dua. Kurikulum belum sepenuhnya sinkron dengan industri, sehingga banyak lulusan belum sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.

Keterlibatan industri masih terbatas, sehingga magang tidak selalu terstandar dan kurang memberi pengalaman signifikan.

Tingginya angka NETT generasi baru di Indonesia, bisa menjadi indikator adanya masalah dalam transisi dari pendidikan ke dunia kerja.

Angka tersebut tidak semata soal generasi muda yang “malas sekolah” atau “tidak mau bekerja”, namun sebagai penanda dari sejumlah persoalan struktural yang seharusnya lebih siap menyambut potensi kaum muda.

Ada realitas dalam dunia pendidikan, yang belum sampai pada fase menyiapkan tenaga kerja berkualitas dan relevan dengan dunia kerja.

Data memperlihatkan, kualitas pendidikan di negeri kita termasuk paling tertinggal dibandingkan dengan negara anggota ASEAN lain, terutama dalam aspek hasil belajar, keterampilan, dan keterkaitan pendidikan dengan dunia kerja.

Saat menghadiri rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI awal bulan ini, Menteri Tenaga Kerja menawarkan sebuah solusi, agar dunia pendidikan semakin terkoneksi dengan lapangan kerja.

Solusi dimaksud adalah melalui program School to Work Transition, yang merupakan kerja sama lintas kementerian/lembaga.

Program ini merupakan integrasi pelatihan dan pemagangan skala nasional, yang dirancang untuk menekan angka pengangguran muda, terutama pekerja tamatan sekolah vokasi (SMK).

Sebagaimana disebut sebelumnya, tingkat pengangguran tertinggi terdapat pada usia 19-24 tahun, akibat ketidaksesuaian program studi dengan kebutuhan industri.

Program tersebut difokuskan pada pengembangan keterampilan masa depan, termasuk elektronik, kecerdasan buatan, bahasa, soft skill, dan kewirausahaan.

Selaras dengan pernyataan Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Stella Christie pada orasi ilmiah di Universitas Yarsi awal bulan ini, bahwa lapangan kerja tidak bisa serta-merta tercipta tanpa SDM yang unggul.

Oleh karena itu, pemerintah akan lebih fokus membangun manusianya, sembari terus berupaya memperluas lapangan kerja.

Dalam pandangan Wamen Stella Christie, pemerintah memang berperan besar dalam memperluas lapangan kerja untuk memberi pekerjaan pada generasi baru terdidik, itu sebabnya pemerintah fokus pada pengembangan SDM melalui pendidikan.

Artinya, membentuk SDM yang berkualitas yang harus diprioritaskan, untuk kemudian melangkah ke tahap berikutnya, yaitu menciptakan lapangan kerja.

Sesuai target besar pemerintahan Prabowo – Gibran, untuk membuka 19 juta lapangan kerja baru, terutama bagi generasi muda.

Salah satu strategi menciptakan lapangan kerja, dengan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, berkualitas, dan inklusif.

Menciptakan iklim usaha kondusif untuk mendorong pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja, kebijakan fiskal lebih ekspansif, serta stimulus tepat sasaran.

Kemudian harus diimbangi pula dengan orientasi pendidikan, pelatihan, pemilihan jurusan, dan cara pandang masyarakat yang lebih responsif terhadap kebutuhan industri di era Revolusi Industri 5.0.


*) Penulis adalah Dosen UCIC, Cirebon.

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |