Jakarta (ANTARA) - Dalam lanskap pendidikan nasional yang selama ini terfragmentasi oleh kesenjangan dan ketimpangan, kehadiran Sekolah Rakyat membuka harapan untuk menjadi lorong penembus dinding fragmentasi tersebut.
Sekolah Rakyat bukan sekadar program pendidikan biasa. Ia adalah sebuah komitmen kebangsaan: bahwa negara, lewat mandat konstitusi, tidak boleh diam ketika anak-anak miskin dan terlantar kehilangan masa depannya hanya karena mereka lahir di “desil” terbawah.
Diinisiasi oleh Presiden Prabowo Subianto, Sekolah Rakyat merupakan bentuk konkret dari janji untuk tidak membiarkan satu anak pun tertinggal. Pendidikan bukan hak istimewa, melainkan hak asasi. Negara mengambil peran sebagai rumah belajar yang menjangkau hingga ke anak-anak dari keluarga miskin biasa dan miskin ekstrem —kategori yang kerap digunakan sebagai parameter dalam statistik, tetapi jarang disentuh kebijakan secara utuh.
Pendidikan gratis 100 persen bukan perkara angka, tetapi menjadi simpul awal dari gerakan memutus rantai kemiskinan yang sudah terlalu lama diwariskan lintas generasi. Model berasrama yang diterapkan bukan semata soal efisiensi logistik, tapi tentang menciptakan ruang hidup yang memungkinkan anak-anak tumbuh secara humanistik: terpenuhi gizinya, tenang jiwanya, dan tercerahkan akalnya.
Lebih dari itu, Sekolah Rakyat bukan hanya lembaga belajar. Ia adalah proyek kebangsaan yang menyemai nilai: karakter, kepemimpinan, nasionalisme, serta keterampilan kontekstual berbasis lokalitas. Kurikulum yang dirancang tidak melulu mengukur angka di rapor, tapi membentuk manusia yang tangguh secara intelektual, matang secara emosional, dan siap berkarya bagi lingkungan sekitarnya.
Sistem multi-entry dan multi-exit yang ditawarkan membuka ruang bagi fleksibilitas, bahwa fakta menunjukkan tidak semua anak tumbuh dalam jalur yang lurus dan linear dengan dunia anak. Ada yang tertatih, ada yang tersendat, termarjinalkan dalam sistem sosial yang menghambat tumbuh kembang mereka. Padahal pendidikan yang sejati justru hadir untuk membangun gerakan, bukan mempercepat kegagalan.
Tentu, kritik tetap relevan. Ada kekhawatiran bahwa penggunaan istilah "Sekolah Rakyat" bisa menyulut segregasi sosial baru. Ada warisan kolonial yang menempel pada nama itu. Namun, dibalik semantiknya, program ini justru lahir dari semangat untuk menyembuhkan luka lama: menciptakan kesetaraan, menghapus memori kolektif tentang kelas-kelas sosial.
Setiap sistem bisa dilihat dari dua sisi, yakni ancaman dan kekurangannya atau peluang potensinya. Maka Sekolah Rakyat adalah peluang, bukan finalitas. Ia bukan jawaban tunggal, tetapi langkah awal menuju ekosistem pendidikan yang berkeadilan dan bermartabat.
Pemerintah tentu tidak bisa berjalan sendiri. Diperlukan sinergi antar kementerian, pemda, dan masyarakat sipil agar semangat ini tidak berhenti sebagai poster, tetapi menjelma sebagai pengalaman belajar yang membebaskan.
Konsep Sekolah Rakyat sejalan dengan tujuan United Nation Educational Scientific and Culture Organization (UNESCO), terutama konsep pendidikan inklusif dan kesetaraan. Dalam konteks tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), Sekolah Rakyat sejalan dengan tujuan pendidikan berkualitas berfokus pada kepastian pendidikan yang inklusif, setara, dan berkualitas bagi semua. Model ini memberi akses pendidikan gratis bagi anak-anak yang kurang mampu.
UNESCO mendukung pendidikan yang inklusif untuk semua anak, termasuk mereka yang berada dalam situasi rentan seperti anak miskin, anak jalanan, dan penyandang disabilitas. Sekolah Rakyat dengan fokus pada anak-anak dari keluarga miskin ekstrem dan kelompok rentan mendukung prinsip tersebut.
Baca juga: Mensos: Sekolah Rakyat kedepankan kesetaraan, lahirkan anak cerdas
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

















































