Jakarta (ANTARA) - One workplace injury or death is too many. Demikian salah satu tajuk artikel di laman Canada Building Trades Unions dalam mengenang para pekerja yang meninggal atau cedera pasca-kecelakaan kerja.
Di Indonesia, jumlah korban meninggal atau cidera akibat kecelakaan kerja pada 2021 mencapai 3.410 orang, lalu meningkat hampir dua kalinya pada 2022 menjadi 6.552 orang.
Satu nyawa pekerja yang melayang karena kecelakaan kerja semestinya cukup untuk mengguncang setiap meja rapat direksi dan mencoreng setiap lembar laporan tata kelola perusahaan. Namun, entah karena kebal atau karena biasa, kita terus melihat begitu banyak nyawa pekerja hilang. Kasusnya mungkin tidak menimbulkan guncangan berarti, bahkan naasnya tanpa keadilan yang layak bagi pekerja.
Dalam beberapa pekan terakhir saja, laman pencarian berita diisi oleh sejumlah kabar pilu: pekerja di Wilmar Dumai tewas terbakar, tiga anak buah kapal Indonesia meregang nyawa di Korea Selatan, tiga orang pekerja pabrik kulit di Sumedang tewas di kubangan limbah.
Insiden tersebut bukan potret keterpencilan yang berdiri sendiri. Ada pola berulang yang menunjukkan lemahnya sistem perlindungan ketenagakerjaan kita di berbagai sektor.
Betul bahwa pasar kerja kita tengah dilanda ketidakpastian, sementara banyak yang butuh pekerjaan. Namun, itu bukan alasan bagi perusahaan untuk semena-mena mengabaikan hak paling dasar pekerja, yaitu keselamatan hidupnya.
Sistem yang rapuh
Tanggal 28 April adalah Hari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Sedunia. Tiga hari berselang, atau 1 Mei, diperingati sebagai Hari Buruh Internasional. Ini sebagai pengingat bahwa pekerja bukan semata alat produksi.
Mereka adalah manusia, dengan keluarga yang menunggu di rumah, dengan cita-cita yang layak dirawat, dan dengan hak yang tak bisa ditawar. Mereka punya hak untuk pulang kerja dalam keadaan hidup dan sehat.
Namun, realitas berkata lain. Menurut data International Labour Organization (ILO), lebih dari 2,7 juta pekerja meninggal setiap tahun akibat kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Angka itu setara dengan satu kematian setiap 11 detik.
Di Indonesia, data dari BPJS Ketenagakerjaan pada 2024 menunjukkan bahwa terdapat 462.241 kasus kecelakaan kerja. Ironisnya, di tengah gembar-gembor pertumbuhan ekonomi dan arus masuk investasi, kita justru menyaksikan penurunan kualitas pengawasan ketenagakerjaan, minimnya audit keselamatan, dan tentu yang paling menyedihkan adalah budaya menyalahkan korban ketimbang memperbaiki sistem.
Retaknya sistem K3 di Indonesia bukan semata perkara alat pelindung diri yang tak layak atau prosedur keselamatan yang abai. Retak itu bermula dari lemahnya penegakan hukum.
Regulasi yang ada masih sering tumpul di lapangan, dengan pengawasan yang minim akibat jumlah inspektur ketenagakerjaan yang tak sebanding dengan luasnya cakupan kerja.
Di sisi lain, tanggung jawab perusahaan kerap berhenti pada tumpukan dokumen formalitas berupa SOP dan pelatihan yang hanya dilakukan untuk menggugurkan kewajiban. Bukan untuk membangun budaya keselamatan.
Setelah kecelakaan terjadi, penyelidikan bersifat tertutup dan tanpa akuntabilitas publik. Tak ada sistem yang memastikan pelajaran dari satu tragedi menjadi penangkal tragedi berikutnya.
Lebih parah lagi, para pekerja kontrak, outsourcing, hingga tenaga kerja informal nyaris tak tersentuh perlindungan K3 karena relasi kerja yang timpang dan serba tak pasti. Mereka menjadi korban paling rentan dalam sistem yang abai ini.
Tanggung jawab siapa?
Kita tidak bisa memisahkan isu hak pekerja dari konteks global, terutama perkembangan standar Environmental, Social and Governance (ESG). Dalam aspek "S" (Social), fokus dunia kini beralih ke pemenuhan hak pekerja dan penghapusan praktik perbudakan modern (modern slavery).
Matt Friedman (2024) dalam Promoting Accountability in Supply Chains: The Private Sector’s Role in Combating Modern Slavery secara tajam menekankan bahwa sektor swasta memainkan peran vital dalam membersihkan rantai pasok dari praktik eksploitasi. Ia menyoroti bagaimana kompleksitas rantai pasok global memungkinkan perusahaan “menutup mata” terhadap pelanggaran hak asasi manusia, termasuk kondisi kerja berbahaya yang jadi pemicu kecelakaan kerja.
Perusahaan perlu menerapkan kebijakan manajemen rantai pasok serta menuntut standar minimum dari para pemasok dan subkontraktor. Kemudian tanpa menihilkan peran regulasi pemerintah, lembaga keuangan dan investor juga semestinya bisa ikut mengontrol dan bertanggung jawab.
Melalui leverage finansial, mereka seyogyanya bisa menekan pelanggan mereka untuk memperbaiki sistem perlindungan sosial. Dalam hal ini, perlu kiranya agar lembaga pembiayaan dan investor dituntut menggunakan indikator sosial dalam penilaian proyek dan calon debitur.
Tidak ada alasan bagi institusi keuangan untuk terus menyalurkan dana ke perusahaan-perusahaan yang mencatatkan angka kecelakaan kerja tinggi atau tidak memiliki komitmen reformasi K3. Instrumen pembiayaan seharusnya digunakan untuk memperkuat praktik yang sudah baik dan memberi tekanan terhadap praktik kerja yang buruk.
Momentum berbenah
Khususnya bagi Lembaga Jasa Keuangan (LJK), Emiten, dan Perusahaan Publik, tanggal 30 April merupakan tenggat penyampaian laporan keberlanjutan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun, masih banyak perusahaan dan lembaga keuangan yang menjadikan laporan ESG sebagai alat pemanis citra, bukan sebagai kompas dalam hal etika.
Grievance mechanism atau sistem pengaduan buruh hanya disiapkan sebagai formalitas, bukan sebagai ruang penyelesaian (Remedy) nyata.
Dalam konteks hak asasi manusia, penyelesaian berarti mengembalikan individu yang terdampak ke posisi mereka sebelum terjadinya kecelakaan, atau sedekat mungkin dengan kondisi sebelumnya. Bentuknya bisa dimulai dengan permintaan maaf, akuntabilitas bagi pelaku kesalahan, jaminan tidak akan terulang, dan pastinya pemulihan dan ganti rugi memadai.
Laporan keberlanjutan yang disusun perusahaan harus diwajibkan melampirkan data faktual terkait insiden kerja, tindakan korektif, serta progres dalam menjamin hak pekerja. Pelaporan tersebut tidak boleh bersifat naratif belaka, namun harus berbasis bukti dan bisa diverifikasi oleh pihak ketiga.
Saatnya kita berhenti bermain-main dengan nyawa. Tak patut jika kita baru mulai peduli ketika kecelakaan berikutnya menimpa orang terdekat.
*) Ismail Khozen adalah Manajer Riset Pratama Institute dan Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia
Copyright © ANTARA 2025