Jakarta (ANTARA) - Belakangan ini isu mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi perbincangan panas, terutama setelah terjadi di PT Sri Rejeki Isman (Sritex) dan PT Sanken Indonesia.
Pabrik tekstil terbesar di Indonesia, PT Sri Rejeki Isman (Sritex) melakukan PHK terhadap lebih dari 10 ribu orang, sedangkan PT Sanken Indonesia melakukan PHK terhadap lebih dari 450 orang.
Isu PHK kian santer setelah Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSYFI) membeberkan adanya 62 pabrik yang berhenti beroperasi dan melakukan PHK terhadap ribuan karyawan dalam rentan Januari 2023 hingga Januari 2025.
Dari permasalahan PHK tersebut, timbul pemikiran bahwa industri manufaktur Indonesia tengah mengalami pelambatan dan daya beli masyarakat terus menurun. Padahal, apabila ditarik lebih jauh akar permasalahannya, PHK bisa jadi karena kesalahan atau keputusan dari manajemen pusat, perubahan prinsip strategi bisnis yang ingin mendekatkan basis produksi dengan pasar ekspor, atau pelaku industri terlambat mengantisipasi perkembangan teknologi sehingga tidak dapat berkompetisi.
Sanken Indonesia contohnya. Pemerintah menyatakan penutupan pabrik yang memproduksi swicth mode power supply dan transformator yang berlokasi di MM2100 Cikarang, Bekasi tersebut, bukan karena iklim usaha di Indonesia, melainkan karena keputusan dari induk perusahaan (mother company) di Jepang untuk melakukan perubahan basis produksi menjadi semikonduktor.
Penyebab PHK yang terjadi di Sritex pun bukan semata-mata karena iklim usaha yang tidak kondusif, tetapi karena perusahaan tersebut memiliki utang lebih dari Rp25 triliun dan tak mampu membayarnya sehingga dinyatakan pailit.
Adapun 62 perusahaan tekstil yang tutup dalam rentan dua tahun terakhir, karena maraknya barang impor yang masuk ke pasar domestik.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan, industri manufaktur saat ini justru terus mengalami pertumbuhan, dan serapan tenaga kerja baru yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah yang kena PHK.
Rasio penyerapan pekerja sektor manufaktur juga terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Data dari Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) mengungkapkan bahwa pada tahun 2024, jumlah tenaga kerja baru yang diserap sektor perindustrian nasional yang mulai berproduksi tahun 2024 mencapai 1.082.998 tenaga kerja. Angka ini lebih besar dari jumlah PHK yang dilaporkan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) pada periode yang sama, yakni sebesar 48.345 orang.
Sebagai catatan, jumlah pekerja yang ter-PHK pada tahun lalu bukan hanya merupakan pekerja di sektor manufaktur, tetapi angka total dari semua subsektor ekonomi.
Data tersebut menunjukkan, banyak perusahaan industri manufaktur bermunculan dan mulai berproduksi dengan menyerap tenaga kerja baru yang lebih banyak pula, bahkan lebih banyak dari jumlah tenaga kerja yang terkena PHK di berbagai sektor ekonomi.
Catatan lainnya, yakni jumlah tenaga kerja pada industri pengolahan nonmigas terus meningkat, dari 17,43 juta di tahun 2020 menjadi 19,96 juta di tahun 2024 atau meningkat 2,53 juta orang.
Selain itu, rasio penambahan tenaga kerja baru di sektor manufaktur terhadap jumlah tenaga kerja yang terkena PHK mencapai 1 banding 20. Artinya, ketika 1 tenaga kerja terkena PHK, sektor manufaktur mampu menciptakan dan menyerap 20 pekerja baru.
Rasio ini terus naik, tahun 2022 misalnya, sebesar 1:5, menjadi 1:7 pada 2023, dan 1:20 di tahun 2024. Kenaikan ini menunjukkan kinerja serapan tenaga kerja manufaktur Indonesia semakin baik.
Baca juga: Pengamat: Danantara bisa dipertimbangkan sebagai investor Sritex
Baca juga: Disnaker Bekasi kawal pekerja terdampak penutupan pabrik Sanken
Minimalisasi dampak
Untuk mengatasi permasalahan utilitas atau ketahanan pabrik agar tidak tutup dan melakukan PHK, pemerintah sudah menyiapkan berbagai insentif.
Terbaru yakni perpanjangan kebijakan subsidi gas industri melalui harga gas bumi tertentu (HGBT) yang disahkan melalui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 76K Tahun 2025.
Meski harga subsidi gas mengalami kenaikan 0,5 dolar AS menjadi 7 dolar AS per million British thermal unit (MMBTU) atau setara 29,41 liter solar, pengusaha sektor perindustrian yang mendapatkan alokasi gas tersebut mengakui kebijakan ini bakal meningkatkan kinerja sektor penerima.
Adapun sektor penerima HGBT yakni, pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) misalnya, meyakini bahwa dengan kebijakan baru ini utilitas sektor keramik akan semakin meningkat, dan isu PHK tidak akan terjadi pada industri keramik domestik. Justru, melalui HGBT, Asaki akan melanjutkan kembali ekspansi tahap kedua senilai Rp4 triliun yang sebelumnya sempat tertahan.
Ekspansi yang dilakukan akan menaikkan kapasitas produksi ubin keramik domestik sebesar 45 juta meter persegi, dan mampu menyerap 5.000 tenaga kerja.
Baca juga: Program prioritas pemerintah bisa serap tenaga kerja kendati ada PHK
Baca juga: KSPI tekankan transparansi dan akuntabilitas terkait investor Sritex
Maraknya produk impor
Untuk mengatasi maraknya produk impor yang membuat utilitas sektor tekstil dan elektronik menurun, pemerintah berencana menerapkan proteksionisme pasar melalui revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 yang dinilai merupakan kebijakan relaksasi impor.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) tengah menyiapkan revisi aturan tersebut dengan mengacu pada pengaturan untuk tiap komoditas, khususnya untuk pakaian jadi yang dianggap telah membuat industri tekstil domestik kewalahan, seperti yang terjadi pada Sritex dan 62 perusahaan yang tergabung pada APSYFI.
Berdasarkan hasil pembahasan terakhir dengan pemangku kepentingan terkait, Kemendag tengah mencari formula tepat sebagai peraturan pengganti. Dengan harapan, pelaku usaha bisa menerima tata cara, prosedur, hingga persyaratan baru secara optimal.
Selain itu, pemerintah juga tengah mengusahakan para pekerja yang mengalami PHK dapat diserap kembali melalui relokasi tenaga kerja maupun penciptaan lapangan kerja baru.
Untuk Sritex, Pemprov Jawa Tengah akan menyerap para pekerja terdampak melalui kerja sama dengan beberapa perusahaan. Sementara itu, PT Sanken Indonesia menawarkan relokasi pekerja ke perusahaan sektor serupa dari hasil Penanaman Modal Asing (PMA) Jepang. Perusahaan.lain yang mengalami penutupan pun diupayakan untuk bisa melakukan hal serupa.
Upaya-upaya tersebut menunjukkan bahwa pemerintah sangat serius untuk mengatasi permasalahan terkait PHK. Tak seorang pun di Tanah Air ini yang ingin terdampak PHK, meskipun potensi tersebut terkadang tak bisa dihindari dalam dunia bisnis. Oleh karena itu, pemerintah dan pengusaha industri harus tetap menyiapkan langkah antisipasi untuk mengurangi potensi PHK atau perusahaan gulung tikar.
Baca juga: Asparnas minta pemerintah beri solusi terhadap industri perhotelan
Baca juga: Antisipasi PHK sebagai kode merah industri tekstil dan garmen nasional
Baca juga: Perlu langkah strategis demi cegah PHK di sektor padat karya
Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2025