Jakarta (ANTARA) - Bali telah lama menjadi wajah global pariwisata Indonesia. Pesonanya tidak pernah surut dengan pantai yang cantik, budaya yang kaya, serta keramahan penduduknya menjadikan pulau yang berjuluk Pulau Dewata ini magnet bagi jutaan wisatawan domestik maupun mancanegara.
Kenaikan jumlah pengunjung yang pesat dalam beberapa tahun terakhir, tentu membawa keuntungan besar bagi ekonomi Bali. Namun di balik gemerlapnya, Bali tengah menghadapi peringatan serius. Fenomena overtourism mengakibatkan beban pariwisata yang melampaui kapasitas ekologis, sosial, dan infrastruktur pulau ini.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali pada tahun 2024 mencapai 6,3 juta orang, naik sebesar 20,1 persen dibandingkan tahun 2023. Tahun 2025, Pemerintah Provinsi Bali, bahkan menargetkan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) mencapai 6,5 juta orang.
Hingga pertengahan 2025, BPS mencatat kenaikan kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali sebesar 16,74 persen, sementara wisatawan domestik meningkat 18,85 persen. Angka tersebut menunjukkan betapa pentingnya sektor pariwisata bagi perekonomian Bali, yang masih sangat bergantung pada kedatangan para pelancong dari dalam maupun luar negeri.
Sektor pariwisata merupakan mesin utama penggerak ekonomi Bali. Terbukti pada triwulan II tahun 2025, Bali mengalami pertumbuhan sebesar 5,95 persen, yang terutama didorong oleh sektor tersebut. Tapi popularitas yang tinggi datang dengan harga mahal, dengan timbulnya kemacetan parah, krisis air bersih, penumpukan sampah, serta degradasi lingkungan dan budaya lokal.
Bali butuh ruang untuk menata ulang arah pariwisata, agar tidak terus-menerus menjadi korban dari kesuksesannya sendiri. Karena jika tidak, Bali akan kehilangan daya tarik yang menjadi sumber kehidupannya. Namun pertanyaannya, kalau bukan Bali, ke mana arus wisatawan harus dialihkan?
Sejak 2019, pemerintah mencoba mengembangkan lima Destinasi Super Prioritas (DSP), yaitu Danau Toba, Likupang, Borobudur, Mandalika, dan Labuan Bajo. Harapannya, DSP dapat menjadi penyeimbang dan alternatif tujuan wisata unggulan baru yang mampu menampung sebagian arus wisatawan, sehingga meringankan beban Bali.
Namun, setelah berjalan lebih dari lima tahun, efektivitas strategi ini belum sepenuhnya terbukti. Data BPS menunjukkan, kunjungan wisatawan mancanegara melalui pintu masuk Bandara Ngurah Rai pada bulan Juni 2025 mencapai 637,74 ribu kunjungan. Angka ini menandakan arus kunjungan masih terpusat di Bali.
Di sisi lain, DSP masih punya tantangan besar, terutama soal infrastruktur dan konektivitas yang belum siap menampung banyak wisatawan.
Selain masalah infrastruktur, pendekatan pembangunan DSP juga perlu dievaluasi. Jika orientasi utamanya hanya pada pembangunan fisik dan peningkatan angka kunjungan wisatawan, maka DSP berpotensi menjadi “Bali baru” dari sisi masalah, bukan dalam hal keindahan.
Penelitian I Wayan Suyadnya (2021) mengungkapkan fenomena gentrifikasi pariwisata di Bali, khususnya di Ubud, Sanur, dan Kuta. Lonjakan investasi pariwisata membuat harga tanah melambung, menggeser masyarakat lokal dari tanah mereka sendiri. Bisnis kecil tak mampu bersaing dengan jaringan hotel besar. Jika DSP tidak dikelola dengan prinsip keberlanjutan, pola ini bisa terulang.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.