Mengenali Trumpisme, paham pemicu transformasi kolosal lanskap global

2 days ago 7

Jakarta (ANTARA) - Kebijakan tarif global oleh Presiden AS Donald Trump membuat Perdana Menteri Inggris Raya Keir Starmer menyatakan dalam artikelnya di Sunday Telegraph, Ahad (6/4), bahwa "dunia seperti yang kita tahu telah berubah".

Salah satu hal yang paling transformatif adalah kecenderungan gerakan untuk menjauh dari langkah globalisasi yang telah melaju kencang sejak paruh akhir abad ke-20, yang salah satu pendukung globalisasi pada awalnya adalah banyak berasal dari AS itu sendiri.

Bahkan, Sekretaris Utama Kementerian Keuangan Inggris (posisi kedua di Kemenkeu Inggris) Darren Jones juga mengakui bahwa "Globalisasi, seperti yang telah kita kenal selama beberapa dekade terakhir, telah berakhir."

Jones mengemukakan hal itu ketika ditanyakan dalam wawancara dengan jurnalis Laura Kuenssberg di BBC, Ahad, mengenai "apakah globalisasi yang telah kita kenal selama beberapa dekade kini telah berakhir - era di mana kita semua bisa mendapatkan mode cepat murah atau TV murah dan mobil murah karena globalisasi bekerja dengan cara itu - menurut Anda apakah itu sudah berakhir?"

Mau tidak mau atau setuju tidak setuju, berbagai langkah yang telah dilakukan Trump telah mengubah semua itu.

Bagaikan "banjir bandang", kebijakan yang dilakukan AS saat ini ditujukan untuk membalikkan berbagai langkah globalisasi yang telah memiliki fondasi kuat dari gerakan neoliberalisasi yang akarnya sebenarnya berasal dari negara-negara Barat.

Untuk itu, penting bagi berbagai pihak untuk benar-benar mengenali apa saja fondasi yang melandasi Trumpisme, atau sebuah kata rekaan yang berupaya untuk merangkum paham yang berasal dari beragam pemikiran Trump.

Sejumlah elemen yang kerap dipergunakan berbagai pihak dalam mendefinisikan Trumpisme yang utama adalah nasionalisme populis, atau retorika yang berupaya menampilkan "America First". Dengan demikian, Trump menjanjikan bahwa kebijakan yang akan dilakukan pemerintahannya adalah untuk memprioritaskan kepentingan bisnis dan para pekerja AS dalam urusan global.

Untuk itu, Trump berupaya menaruh berbagai beban kesalahan dalam perekonomian domestik AS bukan kepada faktor internal tetapi akan selalu ditujukan kepada faktor eksternal. Contohnya dapat dilihat, dalam pengumuman tarif global, Trump menyatakan hal itu karena selama ini AS telah dirugikan oleh berbagai negara sehingga AS perlu "dibebaskan".

Retorika yang selalu menyalahkan "pihak asing" juga terindikasi dari berbagai kebijakan lainnya yaitu membekukan USAID (lembaga donor AS di tingkat internasional), hingga menarik diri dari beragam perjanjian internasional seperti Kesepakatan Iklim Paris serta Kemitraan Trans-Pasifik dengan anggapan semua hal itu merugikan AS.


Anti-globalisasi

Elemen lainnya, sebagaimana telah disebutkan pada awal artikel ini, adalah sentimen anti-globalisasi yang ditunjukkan dengan banyaknya kritik terhadap lembaga internasional dan berbagai perjanjian multilateral. Tidak heran pula bila donor utama Trump, yaitu Elon Musk, juga kerap menelurkan gagasan kontroversial seperti sepakat terhadap pemikiran bahwa AS selayaknya keluar dari PBB.

Ciri khas lainnya adalah Trumpisme adalah sikap tegas dalam permasalahan imigran, yaitu dengan mendorong kontrol imigrasi yang ketat serta menangkapi berbagai orang (bahkan dalam sejumlah kasus seperti "penculikan") terhadap mereka yang dianggap melanggar aturan imigrasi AS.

Terkait imigran itu sendiri, pemerintahan Trump pada periode sebelumnya yaitu (2017-2021) juga telah menerapkan sejumlah kebijakan seperti larangan perjalanan ke AS dari sejumlah negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, serta memperkenalkan kebijakan untuk mengurangi pencari suaka.

Trumpisme juga mengaku pendukung penegakan hukum dan ketertiban, dengan menggambarkan dirinya sebagai pelindung pihak kepolisian dan para veteran. Ironisnya, pemerintahan Trump saat ini banyak mengurangi pos anggaran untuk pelayanan veteran serta mengurangi puluhan ribu pegawai Departemen Veteran AS.

Kemudian, Trumpisme juga dikenal dengan sikap anti-political correctness, atau penyampaian retorika yang memperhatikan kepekaan politik. Menurut mereka, menyampaikan sesuatu dengan apa adanya dan secara lugas (meski secara faktual hal itu bisa diperdebatkan) lebih baik daripada kata-kata eufemisme.

Trump sendiri juga kerap menggunakan bahasa yang provokatif, serta menghina lawan politik, media, dan kelompok lain, yang ternyata hal itu bukan dianggap sebagai hal tercela secara moral tetapi malahan beresonansi dengan para pendukungnya yang tidak suka dengan sikap kepekaan berlebihan.

Dengan kata lain, Trumpisme mengabaikan norma politik tradisional yang menjunjung tinggi kesantunan dalam retorika politik seorang negarawan. Menurut para pendukung Trumpisme, lebih baik untuk menggunakan gaya komunikasi yang tidak konvensional bahkan terkadang tidak santun.

Hal tersebut juga membuat munculnya kultus kepribadian terhadap Trump, atau adanya gejala "orang kuat" dalam puncak perpolitikan suatu negara. Uniknya, berbagai gejala "orang kuat" juga kerap muncul di berbagai negara dengan pemerintahan yang selaras dengan Trump.

Dengan kuatnya keperluan untuk memunculkan satu sosok "orang kuat" sebenarnya sangat berbahaya karena dapat memunculkan pemikiran bahwa sang pemimpin itu adalah "personifikasi dari negara itu sendiri", sehingga sang pemimpin itu sendiri juga berpotensi ke depannya tidak lagi mengenali diri sebagai "pelayan rakyat".

Terakhir, Trumpisme juga menampilkan ciri khas keputusan politik sebagai transaksional, yaitu membuat aliansi dan kesepakatan perdagangan bukan berdasarkan nilai utama yang telah mapan, tetapi lebih berdasarkan apakah hal itu menguntungkan (terutama secara ekonomi) bagi pemerintahan Trump dan sejawatnya.


Mendorong perpecahan

Mereka yang menentang Trumpisme berpendapat bahwa paham tersebut sebenarnya akan mengarahkan kepada melebarnya polarisasi atau perpecahan di masyarakat, xenofobia, retorika anti-imigran, dan merusak norma-norma demokrasi.

Selain itu, gaya Trump dituduh mendorong perpecahan, merusak kepercayaan pada lembaga-lembaga yang tradisional telah mapan selama ini, serta berkontribusi pada kecenderungan otoritarianisme.

Semua efek dari Trumpisme tersebut juga dicemaskan tidak akan berakhir setelah Trump tidak lagi menjabat sebagai presiden.

Namun, dengan mencontoh kepada Trump, maka pendekatan terhadap nasional populis serta retorika antikemapanan juga telah meresap ke banyak pemilih AS sehingga akan banyak politisi lain di masa mendatang yang akan mengadopsi atau menyelaraskan diri dengan ide-ide ini.

Hal tersebut dinilai tidak akan membuat Trumpisme menguap tetapi bakal merajalela tidak hanya di AS, tetapi juga ke berbagai negara di tingkat global.

Uniknya, berbagai pakar telah mengemukakan bahwa pemikiran nasionalis-populis ala Trump sebenarnya mengingatkan diri kepada masa lalu (baca: era kolonial).

Erik Strikwerda, Associate Professor bidang ilmu sejarah di Athabasca University (universitas terbuka di Kanada), menulis di laman media nirlaba The Conversation dengan artikel berjudul "Stuck in the past: Trump tariffs and other policies are dragging the U.S. back to the 19th century" pada 3 April 2025.

Menurut Strikwerda, berbagai program seperti pemangkasan pegawai dan pembekuan lembaga oleh Trump akan mengulangi pola abad ke-19 yang dampaknya sebenarnya akan membuat orang kaya semakin kaya dan menghancurkan program-program sosial yang sangat diandalkan jutaan orang.

Selain itu, lanjut Strikwerda, retorika Trump tentang perluasan wilayah, termasuk ancaman untuk mencaplok Greenland dan Kanada, tidak akan membuat AS lebih aman tetapi hanya akan memperburuk ketegangan internasional seperti pada tahun 1914 dan 1939.

Nasionalisme yang ditunjukkan Trump tersebut juga dinilai berpotensi memperdalam perpecahan berdasarkan ras dan kelas, serta dapat mendorong dunia ke arah konflik global yang belum pernah terjadi sebelumnya, papar Strikwerda.


Mengguncang fondasi multilateral

Sementara itu, artikel bertajuk "Trump's Old World Order" yang ditulis mantan PM Turki Ahmet Davotuglu di situs web Project Syndicate pada 4 April 2025 menyebutkan bahwa retorika Trump yang menghasut, perintah eksekutif yang dikeluarkannya yang sering kali tidak terkendali, serta pendekatan despotik terhadap perang di Gaza dan Ukraina telah mengguncang fondasi sistem multilateral, yang dibangun selama empat abad melalui perang dan penderitaan – yang dimulai sejak Perdamaian Westphalia.

Davotuglu juga menyebut bahwa tindakan dan pernyataan Trump selama dua bulan terakhir menunjukkan bahwa kita memasuki era ketidakpastian yang mendalam di mana krisis dapat meletus dan meningkat kapan saja.

"Satu prinsip tunggal kini tampaknya berlaku: yang kuat adalah yang benar. Bagaimanapun, inti hukum internasional terletak pada prinsip pacta sunt servanda: perjanjian harus dihormati. Namun, dalam beberapa pekan setelah kembali ke Gedung Putih, Trump telah melanggar, membatalkan, atau menarik diri dari berbagai perjanjian dan komitmen yang dibuat oleh pemerintahan AS sebelumnya, termasuk pemerintahannya sendiri," tulis Davotoglu.

Selain itu, masih menurut Davotoglu, tujuan kebijakan luar negeri Trump yang lebih luas tampaknya adalah untuk membongkar tatanan global yang didirikan 80 tahun lalu oleh generasi yang terluka oleh kengerian Perang Dunia II dan mengantar masuk era persaingan neo-kolonial. Ancaman untuk mencaplok Greenland "dengan satu atau lain cara," mengambil kembali kendali atas Terusan Panama, dan menjadikan Kanada sebagai negara ke-51 – bersamaan dengan penggambarannya tentang warga Gaza sebagai sekadar hambatan bagi kesepakatan real estat – memberikan gambaran tajam tentang pandangan dunia neo-imperialis Trump.

Hal relatif serupa juga dipaparkan penulis dan dosen di Universitas California Davis, Sasha Abramsky juga menyebutkan hal yang serupa dalam artikelnya di The Nation yang berjudul "Trump's 2025 Foreign Policy Plan: Make Colonialism Great Again" yang tayang pada 3 Januari 2025.

Bila benar bahwa berbagai langkah yang ditelurkan oleh Trumpisme akan mencetuskan kembali imperialisme dan kolonialisme, maka patut disimak bahwa Alinea I Pembukaan UUD 1945 berbunyi "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |